Petani Perkebunan Belum Sejahtera
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar petani subsektor tanaman perkebunan rakyat pada Januari 2019 meningkat 0,27 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya meski masih berada di angka 94,73. Persoalan ini perlu menjadi perhatian pemerintah mengingat kesejahteraan petani pekebun relatif stagnan sejak empat tahun terakhir.
”Peningkatan NTP (nilai tukar petani) subsektor tanaman perkebunan rakyat memang menunjukkan sudah mulai ada tren perbaikan bagi kesejahteraan petani. Namun, tidak signifikan dan masih belum merata,” kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih saat dihubungi Kompas, Sabtu (2/2/2019).
NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP juga menjadi salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan.
NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. NTP juga salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan.
Semakin tinggi NTP, secara relatif berarti semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani. Angka NTP di atas 100 berarti surplus karena petani menikmati keuntungan. Petani mampu menjual lebih besar daripada biaya produksi yang dikeluarkannya. Sementara jika di bawah 100, berarti petani defisit.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, peningkatan NTP subsektor tanaman perkebunan rakyat pada Januari 2019 dipicu oleh kenaikan harga tanaman perkebunan rakyat, khususnya kelapa sawit dan kakao. Kenaikan harga yang diterima petani juga seiring dengan kenaikan harga yang dibayar petani.
Baca juga: Ironi Sektor Perkebunan
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan pada 25 Januari 2019 merilis penguatan harga referensi produk minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) untuk penetapan bea keluar (BK). Periode Februari 2019, harga CPO menguat 12,34 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Secara nilai, harga CPO naik 62,10 dollar AS per metrik ton atau menjadi 565,40 dollar AS per metrik ton.
”Peningkatan harga global dari CPO sudah menunjukkan tren perbaikan meski memang ke depan harga masih bisa berfluktuasi. Maka, untuk meminimalkan pengaruh global, program penyerapan dalam negeri harus dioptimalkan,” ujar Henry.
Program ini merupakan perluasan penggunaan solar dengan campuran minyak sawit atau fatty acid methyl ester sebesar 20 persen (B-20) untuk bahan bakar sektor pelayanan publik (PSO) dan non-PSO. Henry menilai, program ini dapat lebih banyak menyerap CPO dari petani perkebunan.
Baca juga: Kemitraan Perkebunan Teh Rakyat dan Perkebunan Besar Didorong
Meski demikian, Henry juga menyoroti komoditi karet. ”Yang perlu diperhatikan itu karet. Sekarang sedang diupayakan bagaimana menyerap produksi karet, salah satunya melalui pembuatan aspal berbahan dasar karet,” lanjutnya.
Ekspor karet asap dalam catatan BPS pada Januari-Oktober 2018 turun 21,22 persen dibandingkan dengan tahun lalu menjadi 92,84 juta dollar AS. Ekspor karet remah (crumb rubber) juga turun 22,76 persen menjadi 3,32 miliar dollar AS (Kompas, 10 Desember 2018).
Menurut Henry, apabila pemerintah memang ingin berfokus dalam meningkatkan kesejahteraan petani, khususnya petani perkebunan, harus terus didorong tumbuhnya industri di bidang pertanian.
”Melalui cara ini, petani tidak perlu terus bergantung pada pasar global yang harganya berfluktuasi,” katanya.
Biaya buruh dan sewa lahan
Secara terpisah, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti menyampaikan hal senada. Menurut dia, persoalan ini harus menjadi perhatian bersama. Sebab, jika dilihat secara tahunan, NTP subsektor tanaman perkebunan rakyat berjalan stagnan di bawah 100 sejak 2015 hingga 2018.
Yunita menyampaikan, peningkatan harga yang diterima petani perkebunan juga seiring dengan peningkatan nilai tukar usaha petani atau biaya produksi dan penambahan modal petani. Jika terus demikian, peningkatan kesejahteraan petani akan semakin melambat.
”Kalau kita lihat, indeks NTP perkebunan rakyat masih di bawah 100 karena ada pengaruh dari harga komoditas global yang berdampak pada harga yang diterima petani. Maka, kita harus tetap menjaga jangan sampai penerimaan petani turun, sementara konsumsi serta penambahan modal petani malah naik,” tutur Yunita.
Indeks NTP perkebunan rakyat masih di bawah 100 karena ada pengaruh dari harga komoditas global yang berdampak pada harga yang diterima petani. Maka, jangan sampai penerimaan petani turun, sementara konsumsi serta penambahan modal petani malah naik.
Lebih lanjut, Yunita menyampaikan, kenaikan biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) terutama disebabkan oleh meningkatnya upah buruh dan sewa lahan. Biaya upah buruh dan sewa lahan masing-masing meningkat sebesar 0,96 persen dan 0,80 persen dibandingkan dengan bulan lalu.
Sementara andil upah buruh dan sewa lahan terhadap peningkatan BPPBM masing-masing sebesar 0,38 persen dan 0,11 persen. Ia menambahkan, jika dibandingkan dengan Januari 2018, BPPBM meningkat 0,71 persen.
Henry menilai, kondisi ini rata-rata dialami petani, termasuk petani perkebunan yang memiliki lahan luas. Mereka harus membayar tenaga kerja untuk mengerjakan lahannya. ”Maka, ke depan, usaha tani seharusnya dikerjakan oleh keluarga petani, bukan dikerjakan oleh buruh yang lain,” ujarnya.
Baca juga: Tafsir Nilai Tukar Petani
Sementara itu, bagi petani yang memiliki lahan lebih kecil, pemerintah mengupayakan untuk mendistribusikan kepemilikan dan penguasaan lahan bagi petani. Distribusi lahan diberikan kepada kelompok tani yang dilakukan melalui perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar dan reforma agraria hingga 4,5 juta hektar hingga 2019.
”Sejauh ini sudah ada sekitar 2,5 juta hektar lahan yang didistribusikan kepada petani. Upaya ini untuk memberikan kepastian atas hak petani serta mengatasi persoalan biaya sewa lahan yang semakin tinggi,” kata Henry. (SHARON PATRICIA)