Perburuan Primata Ancam Keseimbangan Alam dan Kehidupan Manusia
Primata di Indonesia hidup dalam ketidakpastian karena diburu dan kehilangan habitatnya karena ulah manusia. Empat spesies kini terancam punah. Padahal, keberadaannya penting untuk melestarikan alam serta kehidupan manusia itu sendiri.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Primata di Indonesia hidup dalam ketidakpastian karena diburu dan kehilangan habitatnya karena ulah manusia. Empat spesies kini terancam punah. Padahal, keberadaannya penting untuk melestarikan alam serta kehidupan manusia itu sendiri.
Di dunia terdapat sekitar 200 jenis primata (bangsa kera dan monyet) serta 40 jenis atau hampir 25 persen di antaranya hidup di Indonesia. Namun, Koordinator Profauna Indonesia Jawa Barat Nadya Andriani di Bandung, Sabtu (2/2/2019), menyatakan, lebih dari 70 persen primata di Indonesia terancam punah akibat perburuan yang terus berlanjut dan berujung pada perdagangan gelap. Bahkan, empat spesies primata di Indonesia terancam punah.
Nadya mengatakan, berdasarkan data organisasi konservasi hayati dunia, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dari 25 primata yang paling terancam punah di periode 2016-2018, empat di antaranya berasal dari Indonesia. Satwa itu adalah simakobu (Simias concolor), kukang Jawa (Nycticebus javanicus), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), dan yaki (Macaca nigra).
Dari 25 primata terancam punah di dunia, empat di antaranya berasal dari Indonesia.
”Artinya, keempat jenis primata ini jumlahnya tidak sampai 100 ekor di alam bebas. Hal ini patut menjadi perhatian karena primata ini pada umumnya berperan penting dalam kelestarian lingkungan,” ujarnya dalam diskusi The Earth Conservation yang merupakan bagian dari acara Riung Raung, kampanye penyelamatan primata, di Bandung, Sabtu malam. Kegiatan ini diadakan untuk memperingati Hari Primata Indonesia setiap tanggal 30 Januari.
Kukang jawa adalah salah satu primata terancam yang berasal dari Jabar. Nadya mengatakan, persebaran satwa ini masih berada di seluruh pegunungan Jabar. Namun, kini sebagian besar lahannya berganti menjadi pertanian warga.
Nadya berharap pemerintah dapat memberikan tindakan tegas kepada para pemburu primata di Indonesia karena hewan ini diperlukan dalam ekosistem. Primata berperan menyebarkan benih pohon melalui buah-buah yang mereka konsumsi, benih-benih yang tersebar saat diinjak dan cara-cara lainnya. Mereka juga menjadi bagian dari rantai makanan untuk hewan predator lainnya.
”Makanya, tidak heran banyak berita macan atau harimau yang masuk ke lingkungan manusia karena makanan mereka, primata juga masuk mencari makan ke pertanian warga. Kenapa? Karena hasil pertanian itu sebelumnya adalah habitat mereka, tempat mereka mencari makan,” kata Nadya.
Ketua Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) periode 2012-2016 Dadang Sudardja menyatakan, bentrokan antara manusia dan satwa di hutan ini menjadi pertanda sistem ekologi yang tidak seimbang. Satwa yang turun ke lingkungan manusia menunjukkan habitat mereka terancam.
Dadang menyatakan, kondisi tersebut menjadi pertanda kawasan yang ada terancam bencana akibat ketidakseimbangan tersebut. Alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian tidak hanya mengakibatkan habitat primata terganggu, tetapi juga resapan air dari gunung menjadi berkurang dan berpotensi mendatangkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Semuanya berujung merugikan kehidupan manusia.
Status konservasi
Dadang berpendapat, potensi bencana tersebut membuat pemerintah perlu mengkaji ulang status daerah hijau, salah satunya di kawasan Bandung utara. Banjir yang kerap melanda Bandung, kata Dadang, adalah akibat dari ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat dalam menjaga lingkungan di daerah hulu.
”Perlindungan terhadap hutan ini tidak hanya menjaga pohon untuk tidak ditebang, tetapi juga hewan-hewan di dalamnya, terutama primata, tidak diburu. Mereka berperan penting dalam memberikan layanan ekologi, seperti sumber air bersih yang melimpah dan oksigen untuk kehidupan,” ujarnya.