JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi memiliki peran sentral dalam menjaga iklim demokrasi di Indonesia, terutama untuk meredam gejolak yang dihasilkan dalam kontestasi politik. Oleh karena itu, para elite politik diharapkan perlu mengedepankan etika dan intelektualitas agar pemilu tidak melulu harus diakhiri melalui sengketa.
Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013 Mahfud MD menjelaskan, motif kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu saat ini telah bergeser dibandingkan di masa Orde Baru. Menurut Mahfud, di masa Orde Baru, kecurangan pemilu diatur langsung dari level eksekutif, sedangKan kecurangan pemilu di era reformasi berlangsung secara horizontal. Artinya, semua pihak bisa melakukan kecurangan dengan motif masing-masing, misalnya partai politik, penyelenggara pemilu, hingga antar-kontestan pemilu.
Atas dasar itu, Mahfud memastikan penyelenggaran pemilu di Indonesia mustahil untuk direkayasa oleh penguasa. Sebab, penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelnggara Pemilu, berdiri independen. Apabila masih belum percaya terhadap hasil pemilu, MK melalui fungsi peradilan menjadi sarana untuk melakukan sengketa pemilu.
Ia mencontohkan, putusan MK yang membolehkan masyarakat yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) untuk tetap memilih dengan membawa kartu tanda penduduk atau paspor merupakan salah satu yurisprudensi MK yang menjaga hak politik setiap warga negara.
“MK telah meredam gejolak atas ketidakpercayaan masyarakat. Misalnya, pada Pemilu 2009, begitu MK mengeluarkan putusan yuriprudensi itu, potensi perang panas yang diakibatkan potensi mundurnya kandidat Pilpres 2019,” ujar Mahfud, Jumat (1/2/2019), ketika menjadi pembicara kunci dalam peluncuran buku berjudul “Strategi Memenangkan Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi” di Jakarta. Buku itu merupakan karya mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana.
Selain Mahfud, hadir pula pembicara dalam diskusi peluncuran buku itu. Mereka adalah Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini; pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti; Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno Dahnil Anzar Simanjuntak; serta pengamat politik, Rocky Gerung.
Kecurangan
Mahfud menambahkan, MK juga memiliki peran untuk mengantisipasi kecurangan dalam proses pemilu legislatif. Ia mengungkapkan, pada Pemilu 2009, MK telah membatalkan kemenangan 72 calon legislatif terpilih karena ditemukan ketidakberesan, termasuk calon legisltaif dari Parat Golkar, Agung Laksono.
Titi mengungkapkan, terkait Pemilu 2014, terdapat sekitar 900 perkara yang masuk ke MK. Namun, ia berharap, seluruh peserta Pemilu 2019 jumlah sengketa di MK bisa ditekan, terutama mengenai langkah-langkah pencegahan di hulu yang melibatkan Bawaslu dan DKPP.
“Sengketa pemilu tidak perlu ada kalau lembaga di hulu betul-betul bekerja. Antisipasi sengketa tidak hanya saat hasil, tetapi masalah itu perlu diantisipasi sejak awal,” tutur Titi.
Titi menekankan, seluruh kontestan pemilu harus memanfaatkan Bawaslu dan DKPP untuk melaporkan dugaan pelanggaran yang diterima dalam proses pemilu. Sebab, bagi dia, produk pemilu berasal dari kontribusi semua pihak mengawal seluruh proses dan tahapan pesta demokrasi itu.
Adapun Rocky menyatakan, ketiadaan etika politik menyebabkan setiap perhelatan pesta demokrasi banjir sengketa. Atas dasar itu, ia menekankan, persaingan politik harus didasarkan pada pertengkaran akademis yang berisi persaingan argumen bukan persaingan sentimen, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan.
Dalam sambutannya, Denny mengatakan, buku itu merupakan sumbangsihnya untuk pelaksanaan Pemilu 2019 berjalan demokratis. Di buku itu, lanjut Denny, pihaknya berupaya memberikan pemahaman kepada seluruh pihak mengenai pentingnya menjaga seluruh proses sengketa di MK, sehingga tidak hanya mengetahui hasilnya.