Kisah Pangeran Diponegoro dalam 51 Lukisan di Jogja Gallery
Oleh
Haris Firdaus
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sebagai pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro sudah dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia. Namun, banyak masyarakat awam yang hanya mengetahui kisah Pangeran Diponegoro saat menjadi pemimpin perang melawan tentara Belanda. Padahal, banyak kisah dalam kehidupan sang pangeran yang menarik untuk diketahui dan bisa menjadi pelajaran tersendiri.
Kisah hidup Pangeran Diponegoro yang lebih berwarna itu coba ditampilkan dalam Pameran Sastra Rupa ”Gambar Babad Diponegoro” di Jogja Gallery, Yogyakarta. Pameran yang dibuka pada Jumat (1/2/2019) malam itu menampilkan 51 lukisan yang dibuat berdasarkan kisah-kisah yang ada di dalam Babad Diponegoro.
Babad Diponegoro adalah naskah yang ditulis Pangeran Diponegoro saat dirinya diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada tahun 1831 sampai 1832. Naskah yang berisi kisah hidup Pangeran Diponegoro itu telah ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai ”Memory of the World” atau Ingatan Dunia pada tahun 2013.
”Untuk pameran ini, kami memilih 50 adegan dalam Babad Diponegoro. Setelah itu, kami bersama-sama kurator pameran memilih pelukis yang kira-kira sesuai untuk menggambar adegan dari naskah ini,” kata Direktur Eksekutif Jogja Gallery Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT) Indro Kimpling Suseno seusai pembukaan pameran, Jumat malam.
Kimpling menjelaskan, awalnya ada 100 pelukis yang masuk daftar nominasi untuk mengikuti pameran tersebut. Daftar itu lalu disaring kembali sehingga hanya menyisakan 51 pelukis. Mereka inilah yang kemudian diminta membuat lukisan berdasar 50 adegan yang dipilih dari Babad Diponegoro.
Dari ke-51 pelukis itu, 49 orang mendapat jatah untuk membuat satu lukisan berdasar satu adegan berbeda, sementara dua pelukis lain, yakni Haris Purnomo dan Ronald Manullang, secara khusus diminta membuat lukisan berdasar satu adegan yang sama.
Salah seorang kurator pameran ini, Mikke Susanto, mengatakan, lukisan-lukisan dalam pameran tersebut menggambarkan kisah hidup Pangeran Diponegoro sejak berusia 5 hari hingga ia ditangkap oleh tentara Belanda. Oleh karena itu, kehidupan Pangeran Diponegoro dalam pengasingan tidak tergambarkan dalam pameran yang berlangsung sampai 24 Februari 2019 ini.
”Babad Diponegoro” merupakan naskah yang ditulis Pangeran Diponegoro saat dia diasingkan di Manado, Sulawesi Utara, pada tahun 1831 sampai 1832.
”Lukisan-lukisan itu menggambarkan adegan-adegan penting yang kita semua ingin masyarakat luas tahu bagaimana sosok Pangeran Diponegoro,” ucap dosen Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Dalam pameran ini, ada banyak sisi lain kehidupan Pangeran Diponegoro yang belum banyak diketahui masyarakat luas. Salah satu contohnya, pada usia 20 tahun, Pangeran Diponegoro—yang merupakan putra dari Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono III—memutuskan untuk menyamar dan berkelana. Dengan menggunakan pakaian lusuh dan memakai nama samaran Abdulrohim, Diponegoro berkelana ke pondok pesantren dan hutan-hutan.
Pelukis F Sigit Santoso, yang kebagian melukiskan kisah ini, memilih keputusan yang mengejutkan. Ia menggambarkan sang pangeran memakai baju, sarung, dan penutup kepala warna putih. Di pinggang sang pangeran terselip sebuah keris, tetapi tak ada tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan bahwa ia seorang bangsawan. Yang mengejutkan, wajah Pangeran Diponegoro dalam lukisan itu lebih mirip Presiden Joko Widodo.
Mikke menuturkan, lukisan-lukisan dalam pameran ini memang tidak bercerita secara terstruktur seperti komik. Sebab, dalam sejumlah lukisan tersebut, ego dan idealisme sang seniman memang sangat berpengaruh. ”Memang karena ini karya seni, tidak bisa saklek seperti komik yang harus bercerita secara terstruktur. Jadi, di sini ego-ego seniman masuk dan itu biasa,” ucapnya.
Meski begitu, pameran ini tetap penting untuk mengetahui lebih banyak kisah mengenai Pangeran Diponegoro, sekaligus mengasah kepekaan terhadap karya seni rupa.