Juara Asia Qatar, Kisah Manis Pembinaan dan Kontroversi Pemain Keturunan
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
AFP/ROSLAN RAHMAN
Penyerang Qatar, Hasan Al Haydos, mengangkat piala merayakan keberhasilan Qatar menjuarai Piala Asia 2019 setelah di final mengalahkan Jepang, 3-1, di Stadion Zayed Sport City Stadium, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Jumat (1/2/2019).
Setelah banyak anggapan tidak layak menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, tim nasional Qatar menepis keraguan. Mereka membuktikan kualitasnya dengan menjuarai Piala Asia pertama kalinya setelah menumbangkan tim langganan juara Jepang, 3-1, di final.
Dalam final yang berlangsung di Zayed Sport City Stadium, Uni Emirat Arab, pada Jumat (1/2/2019) malam WIB, Qatar menaklukkan juara empat kali Jepang. Mendominasi sejak babak pertama, mereka berhasil menjadi juara untuk pertama kalinya sejak Piala Asia pertama kali digelar pada 1956.
Piala Asia 2019 menjadi perjalanan menakjubkan bagi tim berjuluk ”Si Maroon” ini. Mereka tidak pernah seri, apalagi kalah, sejak babak grup. Rekornya tujuh kemenangan dengan memasukkan 19 gol dan hanya kemasukan sekali, yaitu saat final melawan tim ”Samurai Biru”.
Dalam perjalanan menuju takhta juara, Qatar melewati empat mantan juara Asia. Mereka adalah Jepang (4 gelar), Arab Saudi (3 gelar), Korea Selatan (2 gelar), dan Irak (1 gelar).
AFP/KARIM SAHIB
Suporter Qatar bersorak saat menyemangati timnya yang pertandingan dalam final Piala Asia AFC 2019 melawan Jepang di Stadion Mohammed Bin Zayed di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Jumat (1/2/2019).
Penampilan gemilang itu menghasilkan beberapa rekor di kompetisi tersebut, antara lain tim paling produktif dan tim dengan pertahanan terbaik selama Piala Asia. Selain itu, juga pencetak gol terbanyak sepanjang masa, sembilan gol, yang diraih bintang muda Almoez Ali.
Loncatan prestasi itu amat luar biasa mengingat ini merupakan semifinal, juga final pertama mereka sepanjang sejarah. Sebelumnya, tim dari Asia Barat itu hanyalah tim penambal di kompetisi.
Dalam rilis peringkat terbaru FIFA, Qatar berada di peringkat ke-93, hanya tujuh peringkat di atas tim Asia Tenggara, Vietnam. Mereka tertinggal jauh dari Korea Selatan (ke-53), Jepang (ke-50), dan Iran (ke-29).
AFP/KHALED DESOUKI
Para pemain Qatar merayakan gol kedua mereka ke gawang Jepang.
Pertanyaan pun muncul, mengapa prestasi itu tiba-tiba datang? Di balik prestasi itu, terdapat kemunculan pemain-pemain muda berbakat hasil pembinaan yang konsisten.
Sebanyak 14 dari 23 pemain di tim, antara lain Almoez dan Akram Afif, pemain terbaik di final dengan 10 asis, merupakan lulusan dari proyek pembinaan Akademi Aspire.
Di Aspire, pemain-pemain tersebut dibina sejak usia 6 tahun hingga 18 tahun. Pembinaan itu berjalan sejak 2004. Contohnya, Almoez, sang pencetak gol terbanyak berusia 22 tahun tersebut, berada di akademi selama tujuh tahun (2005-2012). Perkembangan luar biasa membuatnya dipanggil ke tim divisi utama Belgia, Eupen, pada 2014.
Di Aspire, pemain-pemain muda Qatar dibina sejak usia 6 tahun hingga 18 tahun. Pembinaan itu berjalan sejak 2004.
Akademi Aspire dipegang langsung oleh ahlinya, Felix Sanchez, yang merupakan pelatih timnas senior saat ini. Sanchez datang ke Aspire pada 2006 setelah mengabdi 10 tahun di klub yunior Barcelona. Dia yang melatih pemain muda asal Catalan, seperti Sergi Roberto, Marc Muniesa, Gerard Deulofeu, dan Martin Montoya.
Warisan dari Barcelona itu dibawanya ke Aspire selama enam tahun. Pada 2012, Sanchez dipercaya melatih timnas U-19. Dua tahun setelahnya, dia berhasil membawa pemain dari akademi menjuarai Piala Asia U-19 di Myanmar.
REUTERS/THAIER AL-SUDANI
Felix Sanchez
Sanchez terus mendapatkan promosi. Dia mulai menjadi pelatih timnas U-23 hingga pada Juli 2017 dipercaya mengarsiteki timnas senior. Fondasi timnas U-19 itu yang dibawa masuk ke timnas senior saat ini.
”Saya rasa ini adalah kesuksesan besar untuk kami. Kami bangga dengan generasi pemain ini. Kebanyakan dari mereka sudah berada di sini delapan tahun sebelumnya,” ucap Sanchez.
Prospek pemain muda ini pula yang akan dibawa menuju Piala Dunia 2022. Dengan menjadi tuan rumah dan waktu menambah pengalaman tiga tahun lagi, mereka bisa saja mengulangi cerita manis Piala Dunia 2002, saat Korea Selatan menembus semifinal, atau mungkin lebih dari itu.
Membeli tim
Di luar prestasi menakjubkan dengan bakat muda, kemenangan Qatar berbau kontroversi. Salah satunya, saat semifinal, lawan mereka, Uni Emirat Arab (UEA), mengajukan protes atas kelayakan dua pemain, Almoez dan Bassam Al Rawi.
UEA, tuan rumah yang ditumbangkan Qatar di semifinal, menuding Almoez dan Al Rawi tidak memenuhi syarat kewarganegaraan Qatar. Sebagaimana syarat Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA), pemain harus menetap selama lima tahun setelah berusia 18 tahun atau memiliki keturunan orangtua atau kakek dan nenek jika ingin membela suatu negara.
Masalahnya, dengan usia Almoez (22) dan Al Rawi (21), mereka pasti belum memenuhi syarat lima tahun menetap di Qatar. Sementara itu, UEA memiliki bukti, baik Almoez yang keturunan Sudan maupun Al Rawi yang keturunan Irak tidak memiliki darah dari Qatar.
AFP/GIUSEPPE CACACE
Penyerang Qatar, Almoez Ali, mencetak gol ke gawang Jepang.
Protes dari UEA itu tidak ditindaklanjuti Federasi Sepak Bola Asia (AFC). Komisi Disiplin dan Etik AFC menolak protes tersebut tanpa penjelasan lebih lanjut.
Hal ini memang menjadi masalah Qatar. Dengan populasi 2,6 juta jiwa dan hanya sekitar 300.000 penduduk asli Qatar, mereka kesulitan mencari bakat pesepak bola.
Meski membina pemainnya sejak muda, mereka cenderung seperti membeli bakat-bakat muda dari negara lain dengan menjadikannya warga negara Qatar. Mayoritas pemain timnas senior saat ini merupakan keturunan negara lain.
Selain Almoez dan Al Rawi, ada juga pemain keturunan lain, seperti Karim Boudiaf (Aljazair-Maroko), Boualem Khoukhi (Aljazair), Pedro Miguel (Ghana), serta Akram Afif dan Ali Afif (Yaman-Somalia).
Sekretaris Jenderal Federasi Sepak Bola Qatar Mansoor Al Ansari mengakui hal tersebut. ”Saya rasa dengan persentase jumlah penduduk yang sedikit, memang kami mengandalkan pesepak bola keturunan lain,” katanya.
”Namun, kami mematuhi syarat FIFA. Semua pemain yang merepresentasi tim kami lahir di sini, mempunyai orangtua dari Qatar, ataupun main di liga sejak 18 tahun selama lima tahun berikutnya,” ucap Al Ansari.
Di balik kontroversi itu, pembinaan panjang yang dilakukan Qatar sangat menakjubkan. ”Si Maroon” patut diperhitungkan di pentas dunia sebagai wakil Asia pada 2022. (AP/AFP/REUTERS)