Para siswa Sekolah Dasar Negeri 1 Kulati di Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Senin (29/1/2019), beraktivitas menempel dalam sesi selipan terkait sampah pada muatan lokal sekolah. Para siswa setempat diajarkan untuk mengurangi pemakaian plastik dan menaruh sampah pada tempat sampah. Ini untuk mengurangi bahaya sampah plastik tak terkelola yang bisa menuju ke laut.
Sampah plastik bukan hanya menjadi permasalahan di kota-kota besar. Pun di Pulau Tomia, Wakatobi di Sulawesi Tenggara yang jauh dari kota besar, dihadapkan pada masalah tersebut.
Berada di kawasan segitiga karang dunia, Pulau Tomia mengandalkan panorama bawah lautnya untuk menarik wisatawan. Namun, sampah kiriman, dan juga ketersediaan fasilitas kebersihan, tempat pengolahan akhir, hingga kebiasaan menaruh sampah pada tempat sampah menjadi ancaman bagi daerah yang menjadi bagian dari 10 destinasi Bali Baru di negeri indah ini.
Karena itu sejak Oktober 2018, Sekolah Dasar Negeri 1 Kulati di Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara menyisipkan informasi dan pengenalan soal sampah pada pelajaran muatan lokal untuk memberi pengetahuan dan penyadaran bagi siswa-siswi setempat dalam memperlakukan sampah. Mereka diajar mengenal kehidupan pulau setempat yang khas akan permukiman di pinggir pantai, ekosistem lamun, dan ekosistem pantai.
Pada Senin (28/1/2019), pelajaran muatan lokal itu itu disampaikan Taharuddin, guru kelas 5 dengan didampingi Asmiati, guru kelas 6. Sebuah spanduk bergambar rumah, kebun, pepohonan, dan laut yang tak asing bagi anak-anak kepulauan ini dipasang di papan tulis.
Lalu guru asal Bombana ini meminta anak-anak untuk menempelkan gambar-gambar aneka ikan, kepiting, udang, kerang, dan burung pada habitatnya. Meski awalnya anak-anak tampak ragu, tetapi ketika Dewi (11) memberanikan diri untuk maju, teman-teman lainnya pun tak berapa lama ikut menyusul. Para siswa di kelas itu pun menjadi riuh berebut hingga Asmiati dengan nada keras meminta anak-anak untuk tertib.
Plek-plek. Stiker aneka fauna itu menempel dengan tepat. Tak ada yang salah. Semisal ikan tongkol/cakalang ditempel pada kolom air yang memang menunjukkan ikan pelagis ini ditemui berenang di dekat permukaan. Gambar ikan kerapu dan aneka ikan karang ditempel menempal pada rataan terumbu karang.
Setelah itu, Taharuddin kembali meminta anak-anak menempel barang-barang yang diasosiasikan dengan sampah seperti ban bekas, baju, botol air kemasan, botol oli, dan kantong plastik. Di sini perbedaan pendapat muncul di antara siswa. Ada yang menempatkan sampah ini di rumah, kebun, hingga di laut. Menandakan mereka melihat barang-barang tersebut di darat dan di laut.
Taharuddin memberi pengertian bahwa sampah-sampah yang tak dikelola baik bisa berakhir di laut. Ketika berada di laut, sampah – terutama sampah plastik – berbahaya bagi hewan-hewan yang tinggal di ekosistem terumbu karang, kolom air, hingga laut dalam.
“Kalau ikan-ikan ini tidak ada lagi, kita tidak bisa makan ikan. Mau tidak?” kata dia yang disambut jawaban serentak “Tidak….” oleh anak-anak.
Kemudian Taharuddin memberikan nasihat agar anak-anak tak menaruh sampah di sembarang tempat. Selain itu, ia pun meminta anak-anak mengurangi penggunaan plastik serta memberitahukannya kepada keluarga di rumah terkait dampak sampah plastik bagi ekosistem laut.
“Kalau beli roti kue-kue tidak usah satu kue satu kantong plastik, cukup semua dijadikan satu. Kalau belanja bawa kantong sendiri,” kata dia memberikan tips.
Di akhir pelajaran dalam ruang yang interaktif ini, Tahar pun memimpin pengucapan janji agar para siswa menaruh sampah plastik pada tempat sampah serta mengurangi penggunaan plastik. “Jika saya melanggar, akan diberi sanksi,” menutup janji tersebut.
Pembelajaran lokal
Selain di dalam ruang, muatan lokal ini pun disajikan juga untuk kegiatan luar ruang. Kegiatannya berupa permainan serta meningkatkan kognitif anak maupun pembelajaran lokal. Seperti lomba penyebutan nama-nama ikan baik penyebutan nama dalam Bahasa Indonesia maupun dalam bahasa lokal.
La Ode Marwan, Kepala SD Negeri Kulati menyambut baik muatan lokal yang disusun Yayasan Konservasi Alam Nusantara (The Nature Conservancy) bersama Forum Kahedupa Toudani (Forkani) tersebut. “Media yang ditampilkan menarik dan mengena bagi siswa,” kata dia.
Ia mengatakan, muatan lokal ini cocok diberikan bagi anak-anak mengingat Kulati merupakan desa wisata di Tomia. Selain itu, secara nasional, Wakatobi telah ditetapkan sebagai destinasi unggulan pariwisata nasional.
“Kalau tempat kita ini kotor siapa yang mau datang kemari,” kata dia yang memimpin 5 guru pegawai negeri sipil dan 4 pegawai honorer di SD Kulati.
Taharudin menambahkan, materi selipan soal sampah ini melengkapi muatan lokal kelautan yang diterima anak-anak sejak lama. Pembelajaran soal sampah ini mulai mengubah kebiasaan para siswa setempat. Diantaranya, mereka saling lapor kepada guru apabila mendapati teman-temannya membuang sampah sembarangan.
Sartika, siswi kelas 6 senang dengan kegiatan ini. Ia menjadi sadar akan dampak sampah bagi lingkungan laut. pengetahuan yang ia dapatkan ini digunakannya untuk memberitahu keluarga maupun kawan-kawannya.
“Tapi kalau teman-teman buang sampah sembarangan, saya bilangi tidak mau menurut. Jadi saya pungut sendiri, buang ke tempat sampah,” kata dia.
Berbeda dengan Asmin, siswa kelas 6 yang meski menyadari untuk mengurangi penggunaan plastik, namun belum bisa mengubah kebiasaan membuang sampah sembarangan. Seperti saat kegiatan bermain tersebut, pemenang lomba yang mendapatkan hadiah permen, masih saja ada yang membuang kulit permen sembarangan.
Mengubah kebiasaan bukan perkara mudah. Setidaknya anak-anak di Kulati di Tomia, Wakatobi nun jauh di sana sudah berjanji dan memulainya.