JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah dinilai menunjukkan itikad baik dalam usaha menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Kendati demikian, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh meminta pihak terkait mengeluarkan dasar hukum untuk melaksanakan tugasnya dengan efektif sesuai Nota Kesepahaman 2005 lalu.
Gagasan ini menjadi bahasan utama diskusi “Merumuskan Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Menindaklanjuti Rekomendasi KKR Aceh,” Jumat (1/2/12019) di Jakarta. Diskusi ini digelar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, serta Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang merupakan induk dari cabang-cabang KontraS di seluruh Indonesia.
Diskusi menghadirkan Ketua KKR Aceh Afridal Darmi, Sekretaris Jenderal Federasi KontraS Andy Irfan, Juru Runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Munawar Liza Zainal, dan Koordinator KontraS Aceh Hendra Saputra.
Menurut Darmi, sepanjang 2018 lalu respon pemerintah terhadap upaya yang dilakukan pihaknya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Aceh cukup positif. KKR juga telah melakukan pertemuan dengan sejumlah kementerian dan lembaga untuk membahas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan KKR sekaligus mengusahakan penguatan kelembagaan.
Sejak ratifikasi Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM pada 2005 lalu, sebenarnya upaya pemerintah untuk mendukung penyelesaian kasus HAM di Aceh sangat baik. Hal ini terbukti dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh.
Pada Undang-Undang tersebut, negara telah mengatur pembuatan Pengadilan HAM Aceh dan pembentukan KKR Aceh pada pasal 229 dan 230. Sementara, pembentukan dan teknis pelaksanaan kedua lembaga akan efektif satu tahun setelah UU tersebut berlaku juga telah dimasukkan pada pasal 259 dan 260. Namun, pasal 259 dan 260 dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebulan setelah UU berlaku.
“Hingga sekarang belum ada peraturan hukum yang kuat untuk melakukan pekerjaan kami. Saat ini, dasar hukum KKR Aceh dalam melaksanakan tugas adalah Qanun (Peraturan Daerah Aceh) Nomor 17 Tahun 2013 Tentang KKR Aceh,” kata Afridal.
Afridal melanjutkan, kurangnya dasar hukum yang mengikat menghambat KKR Aceh dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Ia menceritakan pada 28 dan 29 November 2018 lalu, KKR Aceh menggelar Rapat Dengar Kesaksian, yaitu rapat mendegarkan keterangan dari korban-korban pelanggaran HAM yang disaksikan oleh sejumlah pejabat publik dan militer setempat serta mengundang perwakilan dari beberapa negara.
Meskipun telah dilakukan, namun acara tersebut tidak dapat dipublikasikan secara nasional. Hal ini karena tidak adanya dasar hukum yang mengatur teknis pelaksanaan serta wewenang KKR Aceh secara komprehensif. Ia berharap, pemerintah segera memenuhi janji yang ditetapkan dalam MoU guna memastikan efektivitas kinerja lembaganya.
Sementara Munawar mengatakan, penguatan kelembagaan KKR Aceh melalui pembuatan dasar hukum perlu dilakukan sesegera mungkin. Hal ini agar proses penyelesaian perkara dapat dipercepat dan menjaga kondisi perdamaian di Aceh. Ia juga mengingatkan pemerintah untuk memenuhi poin perjanjian lain yang telah dituangkan dalam MoU, yakni pembentukan Pengadilan HAM Aceh.
Sementara Andy menambahkan usaha penyelesaian masalah HAM baik di Aceh maupun di seluruh Indonesia bukan menjadi tanggung jawab negara saja. Masyarakat sipil juga memiliki peran yang sama pentingnya untuk mendorong kelanjutan realisasi perjanjian semacam ini. Mereka dapat terlibat dengan mengawal proses penyelidikan dari awal hingga akhir atau mengingatkan pemerintah melalui diskusi-diskusi dan bentuk-bentuk berpendapat lain.
“Hasil dari MoU yang belum direalisasikan wajib dilaksanakan secepatnya, itu adalah utang yang belum dilunasi oleh pemerintah,” kata Andy.(Lorenzo Anugrah Mahardhika).