JAKARTA, KOMPAS — Ruang penguatan rupiah untuk kembali ke level Rp 13.000 per dollar AS semakin besar. Momentum sentimen positif dari eksternal harus dimanfaatkan dengan memperkuat fondasi ekonomi domestik.
Sinyal dovish Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, untuk menahan kenaikan suku bunga acuan akan membawa rupiah ke tren penguatan tahun ini. Penguatan rupiah juga dipengaruhi sentimen positif dari dalam negeri, yaitu perbaikan defisit transaksi berjalan dan penambahan cadangan devisa.
Rupiah menguat 94 poin dalam sehari, dari Rp 14.072 per dollar AS pada Kamis (31/1/2019) menjadi Rp 13.978 per dollar AS pada Jumat (1/2) berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, tren penguatan rupiah terhadap dollar AS cukup besar karena saat ini belum pada nilai fundamentalnya. Nilai tukar pada 8 Januari 2019 menyentuh Rp 14.031 per dollar AS. Sejak awal 2019, rupiah menguat 2,7 persen.
”Nilai fundamental nilai tukar rupiah harus lebih kuat daripada sekarang. Namun, itu masih tergantung ekonomi global dan apa yang terjadi di dalam negeri,” kata Darmin di kantornya, Jakarta, Jumat.
Risiko eksternal masih bersumber dari keputusan Bank Sentral AS, keputusan perang dagang antara AS dan China, perlambatan ekonomi China, kesepakatan Brexit, dan dinamika geopolitik di sejumlah negara. Bank Dunia memperkirakan perekonomian dunia tumbuh 2,9 persen pada tahun ini. Adapun Dana Moneter Internasional memproyeksikan 3,7 persen.
Suku bunga acuan Bank Sentral AS tahun ini kemungkinan ditahan pada kisaram 2,25-2,5 persen. Sebelumnya, Bank Sentral AS diperkirakan menaikkan suku bunga 2-3 kali lagi pada 2019.
Darmin mengatakan, nilai tukar akan terus menguat jika kondisi perekonomian domestik stabil. Indikator stabilitas yang menjadi fokus pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, inflasi, dan penciptaan lapangan kerja. Kendati rupiah bergejolak, inflasi tetap terjaga pada kisaran 3,5 persen dalam empat tahun terakhir.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menambahkan, imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun membaik 20 basis poin (bps) pascasinyal dovish Bank Sentral AS. Suku bunga acuan AS memengaruhi beban biaya bunga (cost of fund) yang mesti ditanggung.
”Namun, bagaimanapun, kondisi pasar masih sangat volatile yang bisa berdampak ke risiko pembiayaan,” kata Luky.
Imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun membaik 20 basis poin (bps) pascasinyal dovish Bank Sentral AS.
Kendati gejolak perekonomian global diperkirakan tidak sekuat tahun lalu, pemerintah tetap berhati-hati. Langkah antisipasi ditempuh dengan strategi front loading untuk penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Sejauh ini, gross penerbitan SBN sudah 17 persen dari target SBN bruto Rp 825,7 triliun.
Luky menambahkan, pemerintah pada tahun ini juga memutuskan tidak menerbitkan jenis global bond baru. Denominasi utang dalam valuta asing berupa mata uang euro (eurobond), yen (samurai bond), dan dollar AS (US Treasury). Penerbitan sukuk hijau (green sukuk) masih menunggu respons dan perkembangan pasar global.