Desakan kuat dari masyarakat, khususnya insan pers, agar remisi I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, dibatalkan, didengar oleh pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang mengkaji ulang pemberian remisi tersebut.
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Desakan kuat dari masyarakat, khususnya insan pers, agar remisi I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, dibatalkan didengar oleh pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang mengkaji ulang pemberian remisi tersebut.
”Ini lagi dibahas (remisi Susrama). Sekarang saya akan diskusi dengan teman-teman. Kami akan bertemu dengan para pakar,” kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Sri Puguh Budi Utami, di Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusnanto menambahkan, kaji ulang itu karena pemerintah mendengar tuntutan masyarakat, khususnya insan pers, dan keluarga Prabangsa.
”Ini gambaran dari apa yang rekan-rekan sampaikan tentang kebebasan pers. Rekan-rekan harap bersabar menunggu hasil kajiannya, semua dalam pembahasan,” ujarnya.
Menurut Ade, baru kali ini ada upaya untuk mengkaji ulang keputusan remisi atas dasar tuntutan yang muncul dari masyarakat.
Sekalipun baru kali ini, pencabutan remisi memungkinkan dengan mempertimbangkan perilaku terpidana selama menjalani pemasyarakatan.
Pemberian remisi terhadap Susrama bersama ratusan narapidana lainnya tertuang di Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara, 7 Desember 2018. Di dalamnya, Susrama yang sebelumnya dipidana penjara seumur hidup dipotong masa tahanannya menjadi tinggal 20 tahun.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mendukung sikap pemerintah. Bahkan, dia menuntut agar kaji ulang itu berujung pada pembatalan remisi Susrama. Pembatalan ini bisa dengan cara Presiden mencabut keppres yang menjadi dasar hukum keluarnya remisi.
”Jadi, Presiden memiliki hak mencabut atau me-review ulang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya,” ucapnya.
Pembatalan remisi penting karena keringanan hukuman itu telah melukai nilai-nilai keadilan di masyarakat, khususnya insan pers.
”Dalam konteks ini, kita harus melihat lebih luas dari aspek kebebasan pers itu sendiri. Kasus Prabangsa adalah satu dari sedikit kasus pembunuhan jurnalis yang diusut sampai tuntas dan pelakunya dihukum maksimal. Sementara kasus-kasus pembunuhan jurnalis lainnya banyak yang belum tuntas,” tuturnya.
Di tengah banyaknya kasus pembunuhan jurnalis lain yang belum terungkap itu, pemberian remisi untuk Susrama bisa menjadi indikator semakin parahnya impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap insan pers.
”Yang paling dikhawatirkan adalah jika praktik impunitas seperti ini menjadi rutinitas terhadap kasus-kasus kekerasan pada jurnalis lainnya,” lanjutnya.
Susrama divonis hukuman seumur hidup oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Denpasar, 15 Februari 2010. Dalam pembacaan putusan hakim, Susrama dinyatakan bersalah merencanakan dan turut serta membunuh Prabangsa di rumah terdakwa, 11 Februari 2009 (Kompas, 16/2/2010).
Motif pembunuhan itu karena Susrama sakit hati atas tiga berita Prabangsa soal proyek pembangunan Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar Internasional Dinas Pendidikan Bangli yang dipublikasikan pada 3, 8, dan 9 Desember 2008. Susrama menjadi ketua proyek pembangunan senilai Rp 81 miliar itu.
Saat itu, Susrama merupakan anggota DPRD Bangli periode 2009-2014. Selain itu, dia juga adik dari Bupati Bangli.
Susrama tidak terima atas putusan Pengadilan Negeri Denpasar, kemudian mencoba banding dan selanjutnya kasasi. Namun, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Susrama. Mahkamah Agung sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Negeri Denpasar menghukum I Nyoman Susrama dengan pidana seumur hidup (Kompas, 25/9/2010). (ERIKA KURNIA)