BEKASI, KOMPAS — Industri hulu dan hilir dinilai harus berperan menjaga pasar besi dan baja di dalam negeri. Industri pengguna di hilir didorong mengutamakan baja produksi dalam negeri, sementara industri hulu perlu menjaga agar harga dan kualitas produknya kompetitif.
”Beberapa hari lalu saya mengundang industri hulu dan hilir serta para importir,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat memberikan sambutan pada pelepasan ekspor baja struktur ke Sri Lanka dan pelat baja ke Australia produksi PT Gunung Raja Paksi di Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (31/1/2019).
Enggartiasto mengajak para pihak untuk bersama memikul tanggung jawab di sisi ekonomi bangsa. ”Pertumbuhan ekonomi memang dipengaruhi investasi dan ekspor. Namun, pasar dalam negeri pun harus dilindungi. Perlindungan itu tidak boleh mematikan industri hilir karena menyangkut tenaga kerja,” ujarnya.
Kebutuhan besi dan baja yang besar untuk kepentingan pembangunan seharusnya dapat diproduksi di dalam negeri. Gunung Steel dan Krakatau Steel dinilai bisa mengisi kebutuhan tersebut. ”Saya tidak berada pada posisi untuk melarang impor, tetapi TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) itu satu kemutlakan,” kata Enggartiasto.
Kecepatan izin impor hanya akan diberikan untuk baja yang dibutuhkan sebagai bahan baku industri, seperti industri otomotif dan industri elektronika, dan tidak dapat dipasok dari dalam negeri. ”Kami harus menjaga. Catatannya adalah industri hulu jangan sewenang-wenang. Jangan karena diproteksi dengan langkah kebijakan itu lalu menaikkan harga seenaknya. Itu tidak boleh,” kata Enggartiasto.
Sejak tahun 2010, kebutuhan baja dalam negeri mayoritas dipenuhi oleh baja impor.
Produsen baja di Indonesia diminta memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri. ”Sebab, kalau tidak, pasar akan kosong. Begitu masuk impor sulit untuk dikendalikan. Sulit untuk dihentikan,” ujarnya.
Kementerian Perdagangan mendata ekspor besi dan baja Indonesia tahun 2018 sebesar 5,75 miliar dollar AS atau naik 72,4 persen dibandingkan tahun 2017 sebesar 3,33 miliar dollar AS. Namun, selama ini sebagian besar kebutuhan nasional dipenuhi oleh besi atau baja impor.
Berdasarkan data South East Asia Iron and Steel Institute, sejak 2010, kebutuhan baja dalam negeri mayoritas dipenuhi baja impor. Tahun lalu, sampai Oktober 2018, sebanyak 55 persen dari 14,2 juta ton kebutuhan baja nasional berasal dari impor. Selain soal harga, regulasi dinilai turut menyebabkan masih tingginya impor besi atau baja, antara lain importir cukup membuat pernyataan secara mandiri.
President Director PT Gunung Raja Paksi Alouisius Maseimilian mengatakan, pihaknya berkomitmen memenuhi kebutuhan baja di berbagai sektor mulai konstruksi, perkapalan, minyak dan gas, pertambangan, serta alat berat.
”Tidak hanya kebutuhan domestik, kami juga mengekspor ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Sri Lanka, Selandia Baru, dan Australia,” kata Alouisius.
Dia menuturkan, pihaknya pada 2017 mengekspor 20.000 ton dan tahun 2018 sebanyak 56.500 ton. ”Target tahun ini kami akan meningkatkan 30 persen dari tahun sebelumnya,” kata Alouisius.
PT Gunung Raja Paksi adalah bagian dari Gunung Steel Group, produsen baja nasional yang berkapasitas produksi 2,8 juta ton per tahun.