Kualitas Infrastruktur Nasional Membaik
Pada awal tahun 2019, beredar sejumlah pemberitaan mengenai kualitas infrastruktur Indonesia yang berkualitas rendah dan tidak terencana dengan baik. Artikel-artikel itu mengutip sebuah laporan “Indonesia Infrastructure Financing Sector Assessment Program atau InfraSAP” yang disusun oleh Wold Bank.
Di sejumlah media online, laporan ini diakui oleh Bank Dunia, tetapi belum bersifat rilis publikasi resmi karena belum final. Beredarnya bocoran penilaian ini tentu saja mengundang sejumlah pertanyaan mengenai pembangunan infrastruktur yang sedang marak dibangun di Indonesia. Benarkah kualitas pembangunan infrastrukturnya tergolong rendah?
Walaupun laporan tersebut sudah diklarifikasi Bank Dunia sebagai laporan tidak resmi, nyatanya Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengeluarkan pernyataan terkait beredarnya laporan InfaSAP itu. Menteri Keuangan mengatakan bahwa laporan penilaian itu memang dibuat atas permintaan pemerintah untuk melihat seluruh aspek infrastruktur.
Sebagai negara yang besar Indonesia masih memiliki gap pembangunan infrastruktur yang masih tinggi antarwilayah.
Oleh sebab itu, perlu adanya masukan untuk meningkatkan kualitas pembangunan infrastruktur yang tengah marak diselenggarakan saat ini. Laporan bank dunia ini bertujuan untuk menilai cara pelaksanaan suatu program pembangunan agar sustainable sehingga bank dunia membuat berbagai assessment mulai dari perencanaan, peranan BUMN, dan pembiayaannya. Laporan itu merupakan suatu bentuk masukan yang sifatnya evaluasi untuk meningkatkan kualitas pembangunan.
Indonesia masih memiliki gap pembangunan infrastruktur yang masih tinggi antarwilayah.
Terlepas dari penilaian kualitas oleh World Bank itu, Indonesia saat ini memang tengah marak menggenjot berbagai pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah. Sejak Joko Widodo-Jusuf Kalla menjabat, pemerintahan ini lewat program Nawa Cita memberikan perhatian pada sejumlah program unggulan.
Salah satunya adalah pembangunan infrastruktur baik itu proyek-proyek strategis nasional ataupun proyek infrastruktur konektivitas. Berdasarkan laporan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), setidaknya ada 223 proyek yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan nilai investasi lebih dari Rp 4.000 triliun.
Lambat-laun proyek-proyek yang sudah mulai dikerjakan sejak Joko Widodo-Jusuf Kalla terpilih pada tahun 2014 mulai menampakkan wujudnya. Hingga tahun 2018, ada sejumlah proyek salah satunya terkait infrastruktur konektivitas yang sudah dapat dinikmati oleh masyarakat.
Di antaranya proyek jalan raya yang bertambah panjang hingga 3.432 km; jalan tol baru bertambah 947 km; jembatan penghubung baru hampir 40 km; jalur kereta api (KA) ganda serta reaktivasi lebih dari 700 km; rehabilitasi jalur KA lebih dari 400 km; pembangunan jalur LRT di Jakarta dan Sumatera; serta pembangunan MRT yang akan selesai pada tahun 2019.
Ada juga pembangunan 10 bandar udara baru serta revitalisasi dan pengembangan 400-an bandara di daerah rawan bencana, terisolasi, dan wilayah perbatasan. Untuk sektor maritim sudah terbangun setidaknya 19 pelabuhan baru dan 8 sisanya akan selesai pada tahun 2019.
Ada 223 proyek yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan nilai investasi lebih dari Rp 4.000 triliun.
Berdasarkan Laporan 4 Tahun Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla, pembangunan infrastruktur konektivitas itu setidaknya memberikan dampak positif bagi mobilitas angkutan komoditi. Pada kurun 2014-2017, rata-rata per tahun terjadi kenaikan jumlah angkutan barang di darat sekitar 3 persen, laut 3 persen, kereta api 7,8 persen, dan angkutan udara 2,7 persen. Kian tingginya konektivitas antarwilayah di Indonesia akan berdampak pada kian tingginya daya saing Indonesia di kancah global.
Daya Saing Meningkat
Pembangunan infrastruktur adalah salah satu hal yang sangat penting untuk segera diakselerasi pemerataannya di seluruh Indonesia. Sebelum tahun 2014, menurut penilai Global Competitiveness Indeks (GCI), skor infrastruktur Indonesia rata-rata setiap tahunnya berada antara poin 3 dan 4 dari maksimal skala 7 sehingga perolehan nilainya relatif kecil, yakni tiga koma sekian. Tidak pernah skor bertengger dalam urutan 60 besar dunia. Kondisi ini menyebabkan daya saing Indonesia menjadi relatif rendah karena menunjukkan kurang tercukupinya jumlah infrastruktur yang memadai.
Padahal menurut GCI, salah satu dari tiga hal utama yang menjadi permasalah penting dalam menjalankan bisnis di Indonesia adalah ketersediaan infrastruktur. Selain itu, juga perlu pembenahan terkait masalah korupsi dan birokasi pemerintah yang tidak efisien. Kondisi tersebut sepertinya disadari oleh Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla sehingga pemerintahan saat ini berupaya mengakselerasi ketimpangan infrastruktur di Indonesia sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Untuk memeratakan pembangunan infrastruktur, pemerintah membuat serangkaian proyek-proyek yang tersebar di sejumlah wilayah seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku-Papua. Proyek-proyek strategis nasional seperti bidang energi, kelistrikan, jalan, pengembangan kawasan, dan kereta api diatur sedemikian rupa tersebar di beberapa wilayah tersebut.
Keseriusan pemerintah itu ditunjukkan dengan besarnya anggaran pembangunan yang dialokasikan. Pada tahun 2015-2019, rata-rata anggaran infrastruktur mencapai Rp 347 triliun per tahun. Anggaran tertinggi dialokasikan pada tahun 2018 dan 2019 dengan dana lebih dari Rp 410 triliun setahunnya.
Keseriusan pemerintah itu ternyata menuai hasil positif. Salah satunya adalah dari penilaian GCI yang kian bagus. Skor infrastruktur Indonesia yang rata-rata kurang dari poin 4 lambat-laun merangkak naik. Pada tahun 2015-2018, skor GCI untuk bidang infrastruktur rata-rata berada antara poin 4 dan 5. Bahkan, pada tahun 2018, mampu mencapi skor 4,5 dengan urutan ranking dunia pada posisi 52. Prestasi ini merupakan penilaian tertinggi yang mampu di raih selama ini.
Membaiknya skor infrastruktur ini turut mendorong penilaian keseluruhan GCI menjadi meningkat dan menjadikan Indonesia bertengger di urutan ke-36 dunia dengan total skor 4,68. Poin ini merupakan akumulasi nilai terbaik selama ini. Artinya, sejumlah perbaikan juga dilakukan oleh pemerintahan sehingga masyarakat global melihat daya saing Indonesia turut meningkat di beberapa bidang.
Prestasi ini merupakan penilaian tertinggi yang mampu di raih selama ini.
Kualitas Infrastruktur Membaik
Membaiknya peringkat penilaian GCI Indonesia itu turut disertai dengan meningkatnya kualitas bidang-bidang yang menjadi obyek penilaian, tak terkecuali bidang infrastruktur. Meningkatnya skor penilaian bidang konstruksi sipil Indonesia tidak lepas dari membaiknya kualitas infrastruktur bersangkutan. Pada tahun 2011, skor GCI infrastruktur Indonesia berkisar 3,9 dengan urutan ranking dunia pada posisi ke-90. Pada saat ini, semua kualitas infrastruktur publik seperti jalan raya, rel, dan pelabuhan rata-rata memiliki skor kurang dari 4. Hanya infrastruktur transportasi udara saja yang lebih dari poin 4.
Kondisi tersebut jauh berbeda dengan tahun 2017. Ranking kualitas infrastruktur Indonesia melonjak naik menduduki peringkat 68 dunia. Skor totalnya pun tidak lagi di bawah poin 4, tetapi rata-rata sudah mencapai 4,1 untuk seluruh infrastruktur yang dinilai. Pada tahun 2017 ini, semua infrastruktur publik seperti kualitas jalan, rel, pelabuhan, dan bandara memiliki poin penilaian rata-rata sudah lebih dari poin 4. Bahkan untuk bandara kualitas penilaiannya mencapai skor 4,8.
Prestasi tersebut tentu saja tidak lepas dari upaya pemerintah yang berusaha meningkatkan pembangunan dan pembenahan infarstruktur di segala bidang di seantero Indonesia. Apabila dahulu kualitas infrastruktur rata-rata tak mampu mencapai ranking 50 besar dunia, tetapi kini sebagian kualitas sarana publik Indonesia dapat bersaing di ranah global. Di antaranya kualitas infrastruktur transportasi udara yang menduduki peringkat 51 dunia dan kualitas jalan real yang menduduki ranking 30 besar dunia.
Artinya, prestasi ini kemungkinan besar masih dapat meningkat lagi karena sejumlah pembangunan, pengembangan, dan penantaan beberapa infrastruktur baik itu jalan raya, tol, rel, bandar udara, dan pelabuhan tengah digenjot penuntasannya. Bukan tidak mungkin, daya saing Indonesia di masa mendatang akan sangat tinggi dan kompetitif dengan megara-negara ekonomi maju sehingga mampu menyerap datangnya investasi global.
Gambaran kualitas infrastruktur yang membaik dari penilaian GCI itu bertentangan dengan artikel yang mengutip laporan InfraSAP World Bank yang mengatakan apabila kualitas infrastruktur Indonesia berkualitas rendah. Penilaian tersebut tampaknya terlalu sangat dini dan belum mencerminkan hasil akhir. Pasalnya, Bank Dunia sudah mengklarifikasi bahwa saat ini belum mempublikasikan laporan InfraSAP untuk umum.
Bank Dunia tengah menyusun dan mengkonsultasikan laporan-laporan yang mulai disiapkannya sejak tahun 2017 untuk menemukan solusi guna menarik lebih banyak pendanaan swasta dan komersial untuk investasi bidang infrastruktur.
Dengan bekerja sama dengan sejumlah pihak berkompeten seperti Kementerian Keuangan, Bappenas, berbagai Kementerian Koordinator, Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, Kementerian PUPR, Kementerian Perdagangan, dan Otoritas Jasa Keuangan diharapkan Bank Dunia mampu menghasilkan InfraSAP yang dapat menjadi masukan berguna bagi pemerintah dalam mengembangkan RPJMN 2020-2024.
Kualitas infrastruktur yang membaik dari penilaian GCI bertentangan dengan artikel yang mengutip laporan InfraSAP.
Salah satu hal yang patut digaris bawahi dari laporan InfraSAP nanti adalah solusi bagi pemerintah Indonesia agar mampu melanjutkan pembangunan infrastruktur dengan menarik investasi dari sektor swasta ataupun komersil sehingga meminimalkan penambahan utang baru. Berdasarkan Undang-undang No. 17/2013 Tentang Keuangan Negara, mengamanatkan defisit APBN terjaga kurang dari 3 persen PDB dan rasio utang kurang dari 60 persen PDB. Pada Juli 2018 rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB berkisar 29,74 persen dan defisit APBN terhadap PDB sekitar 1,01 persen pada Agustus 2018.
Meskipun masih dalam kategori aman, utang pemerintah alangkah baiknya jika lebih dikendalikan lagi. Pada kurun 2015-2018, pemerintah menambah utang untuk menutup defisit APBN sekitar Rp 411 triliun per tahun. Dalam periode yang sama pemerintah juga mengeluarkan dana untuk pembangunan infrastruktur sekitar Rp 311 triliun per tahun atau sekitar 80 persen dari rata-rata penambahan utang pemerintah. Oleh sebab itu, apabila pemerintah berhasil menarik investor untuk mendanai infrastruktur Indonesia tentu saja penambahan utang pemerintah juga dapat ditekan lebih kecil lagi. (BUDIAWAN SIDIK A/LITBANG KOMPAS)