Atasi Kelebihan Jumlah Tahanan dengan Revisi KUHAP dan Perbaikan Praperadilan
Oleh
Khaerudin/Mahatma Chryshna
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemahaman terhadap masalah penahanan serta minimnya prosedur praperadilan yang efektif berkontribusi dalam meningkatnya angka kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan ataupun rumah tahanan di Indonesia. Pengkajian ulang terhadap mekanisme praperadilan dan ketentuan hukum acara menjadi beberapa solusi untuk mencegah persoalan kelebihan jumlah tahanan di lembaga pemasyarakatan ataupun rumah tahanan.
Berdasarkan data yang diolah Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera dari Sistem Pemasyarakatan, hingga Januari 2019 total tahanan yang ada di seluruh LP di Indonesia berjumlah 256.024 orang. Jumlah tersebut meningkat dari 255.231 tahanan pada 2018.
Sementara kapasitas LP tidak mengalami penambahan sejak tahun 2018, yaitu 125.989 orang. Pada 2019, jumlah tahanan dan napi mencapai 256.024 orang, sementara kapasitas LP dan rutan di Indonesia hanya untuk menampung 125.989 orang. Dengan demikian, daya tampung LP dan rutan mencapai 203,21 persen dari kapasitas yang seharusnya.
Sementara itu, berdasarkan riset Litbang Kompas terhadap LP Perempuan Kelas II A Tangerang di Jalan M Yamin, Babakan, Tangerang, kelebihan jumlah tahanan terjadi di LP tersebut. LP tersebut merupakan unit pelaksana teknis Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham yang berada di bawah Divisi Pemasyarakatan Banten.
Sebagai LP Kelas IIA, LP ini dikategorikan sebagai LP dengan kapasitas hunian standar 500-1.500 orang. LP perempuan seluas 1.690 meter persegi itu berdiri di atas lahan seluas 7.280 meter persegi. Dengan demikian, LP hanya menempati 25 persen dari luas lahan yang dimilikinya.
LP yang didirikan pada 1979 dan diresmikan pada 1982 ini memiliki kapasitas 250 orang. Data per Februari 2019 menunjukkan, LP perempuan itu dihuni 419 orang. Sebanyak 48 di antaranya merupakan warga negara asing. Oleh karena itu, dengan penghuni sejumlah 419 orang, kapasitas hunian LP ini mencapai 168 persen atau kelebihan kapasitas.
Sebagai LP perempuan, sebagian besar sumber daya manusia di LP ini adalah perempuan. Berdasarkan data per Desember 2018, terdapat 108 pegawai dengan perincian 19 pegawai laki-laki dan 89 pegawai perempuan. Dengan jumlah pegawai sejumlah 108, secara riil, rasio riil pegawai terhadap penghuni LP ini sebesar 3,9 persen.
Kelebihan jumlah tahanan dibandingkan kapasitas LP dan rutan tersebut dinilai karena banyak yang salah paham soal aturan dalam hukum positif Indonesia. Menurut pengajar Hukum Pidana STHI Jentera, Miko Ginting, penahanan di Indonesia seharusnya dilakukan apabila penyidik memiliki keperluan untuk memeriksa seseorang.
Selain itu, penahanan juga dapat dilakukan apabila memenuhi dua syarat lainnya. Pertama, seorang tersangka diancam dengan hukuman penjara selama lima tahun atau lebih. Sementara yang kedua adalah adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, serta mengulangi tindak pidana.
Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 20 dan 21 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ”Tetapi, pada praktiknya pihak penyidik sering kali melakukan penahanan atau penahanan lanjutan kendati seluruh syaratnya belum terpenuhi,” kata Miko dalam diskusi ”Penahanan Bermasalah, Saatnya Reformasi Sistem Peradilan Pidana” di Jakarta, Jumat (1/2/2019).
Acara tersebut menghadirkan Ketua Bidang Studi Hukum Pidana STHI Jentera Anugerah Rizki Akbari, pengajar Hukum Pidana STHI Jentera Miko Ginting, dan Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu.
Pada praktiknya, pihak penyidik sering kali melakukan penahanan atau penahanan lanjutan kendati seluruh syaratnya belum terpenuhi.
Miko melanjutkan, terdakwa dapat melakukan mekanisme pengujian terhadap penahanan yang dilakukan kepada dirinya melalui praperadilan. Namun, sistem pengujian melalui praperadilan ini dinilai kurang efektif karena dilakukan setelah proses penahanan yang telah berjalan. Hal ini melanggar hak seseorang untuk mendapat proses peradilan yang adil.
Sementara itu, Erasmus mengatakan, karena sifat praperadilan yang sangat teknis, prosedur ini hanya dapat dilakukan apabila seseorang memiliki pengetahuan tentang KUHAP atau memiliki kuasa hukum sendiri. Sebaliknya, kemungkinan mengajukan praperadilan akan kecil apabila tidak memiliki pengetahuan hukum yang baik atau tidak memiliki pengacara.
Padahal, Pasal 56 KUHAP sudah mengatur tentang penunjukan penasihat hukum bagi para terdakwa oleh pejabat di seluruh tingkat pemeriksaan. Penasihat hukum yang ditunjuk juga akan memberikan bantuannya secara gratis.
Selain itu, sistem praperadilan di Indonesia juga kerap kali hanya menguji syarat-syarat formal, seperti persyaratan administratif. Sementara, pengujian secara substantif dengan mengkaji prosedur dengan ketentuan dalam hukum yang berlaku tidak dilakukan.
Erasmus menambahkan, mekanisme praperadilan saat ini perlu diperbaiki dari berbagai sisi. Salah satu aspek yang harus dibenahi adalah prosedur. Sistem ini harus dilakukan sebelum penahanan dilakukan agar dapat menekan populasi di lembaga pemasyarakatan dan memastikan terdakwa memperoleh haknya.
Adapun Miko menyarankan pengadilan untuk melakukan pengujian terhadap ketentuan penahanan seperti yang ditentukan pada Pasal 21 KUHAP. Hal ini dapat dilakukan dengan merevisi KUHAP dan menambahkan mekanisme ini secara jelas, mulai dari proses hingga adanya hakim khusus untuk memeriksa pengajuan praperadilan pemohon.
”Penafsiran atas syarat penahanan pada KUHAP juga harus diperjelas agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti yang terjadi sekarang,” katanya.
Guna mengurangi jumlah tahanan di lapas, aparat penegak hukum juga perlu mengoptimalkan alternatif penahanan, seperti tahanan rumah atau tahanan kota. Mereka juga dapat merumuskan sistem penangguhan dengan sistem jaminan (bail system), seperti yang dilakukan beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)