Di tengah kampanye Pemilu 2019 yang sudah berjalan setengah ”babak”, kemeriahan kampanye belum dirasakan pedagang atribut kampanye di Pasar Senen, Jakarta. Pesanan atribut kampanye tak semeriah pemilu-pemilu terdahulu.
Masa kampanye Pemilu 2019 sudah dimulai sejak 23 September 2018 dan masih akan berlangsung hingga 13 April 2019. Selama lebih kurang empat bulan kampanye berlangsung, beberapa pedagang atribut kampanye di Pasar Senen—yang dikenal sebagai sentra penjualan atribut kampanye—mengeluhkan omzet turun hingga 80 persen dibandingkan dengan masa kampanye pada Pemilu 2014.
”Beberapa orang partai tetap ada yang pesan, tetapi jumlahnya tak lebih dari 1.000 buah per pesanan,” kata Abdul Rahman (35), pedagang di Pasar Senen, Rabu (30/1/2019).
Abdul menjual berbagai atribut kampanye, seperti topi, kaus, dan bendera partai. Dia hanya melayani pesanan dengan jumlah minimal 1.000 buah. Ia mencontohkan, setiap kaus bahan hyget dibanderol Rp 12.000 sehingga pesanan atribut minimal Rp 12 juta.
Menurut dia, jumlah tersebut terbilang sangat kecil. Pada pemilu sebelumnya, rata-rata satu caleg bisa menghabiskan Rp 24 juta hingga Rp 200 juta untuk belanja atribut partai.
Pada Pemilu 2009 dan 2014, beberapa pedagang atribut kampanye bisa mendapat omzet Rp 500 juta. Namun, saat ini untuk memperoleh omzet Rp 100 juta pun sangat sulit.
”Yang pesan kaus saja sekarang sudah jarang. Kebanyakan caleg sekarang pesan kartu nama doang,” kata Alex Mempuar (69), pedagang atribut kampanye di Blok III Pasar Senen.
Selain kartu nama, yang saat ini masih lumayan banyak peminatnya adalah bendera ukuran 60 sentimeter x 90 sentimeter. Spanduk ataupun umbul-umbul berukuran besar saat ini tidak lagi diminati.
Meski begitu, sejumlah pedagang atribut kampanye di Blok III itu masih bisa mendapat omzet di atas Rp 20 juta dari relasi lama yang saat ini menjadi caleg petahana. Kepada para petahana itulah mereka menggantungkan harapan.
Namun, jumlah itu juga terbilang kecil karena pada pemilu sebelumnya caleg petahana bisa membeli atribut kampanye Rp 150 juta per pemesanan.
Alex menambahkan, saat ini hanya caleg dari partai besar yang berani memesan atribut kampanye lebih dari 1.000 buah. Caleg dari partai baru, katanya, jarang ada yang berani memesan atribut dalam jumlah besar. Hanya ada beberapa perkecualian dari partai tertentu yang pemesanannya menyamai partai politik lama.
Perubahan perilaku
Menurut Alex, surutnya pesanan atribut kampanye ini tidak terlepas dari kebiasaan para caleg yang beralih. Mereka kini lebih mengandalkan media sosial dan blusukan untuk menarik simpati pemilih.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, transformasi digital berpengaruh besar terhadap pola komunikasi caleg terhadap calon pemilih.
”Dalam era digital, komunikasi politik bersifat lebih personal melalui berbagai macam platform media sosial,” katanya.
Jumlah atribut dan bahan kampanye di lingkungan saat ini memang tak sebanyak pada pemilu sebelumnya. Selain karena transformasi digital, dia menilai hal ini juga karena peraturan dan pengawasan dari Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu yang kian ketat.
Meski begitu, Titi mengatakan saat ini atribut kampanye tetap hadir memenuhi ruang publik, tetapi kini berubah bentuk menjadi benda digital. Foto, infografis, video, dan meme merupakan sebagian dari sekian banyak teknologi digital yang pada masa pemilu bisa berubah fungsi menjadi atribut kampanye. ”Sebenarnya sama saja riuhnya, hanya memang saat ini medan pertarungannya lebih ramai di ruang digital,” ujar Titi. (Pandu Wiyoga)