Meneladani Diponegoro, Menunggu Ratu Adil untuk Indonesia
Kepercayaan akan datangnya Ratu Adil hadir pada sosok Pangeran Diponegoro pada masa yang dianggap tidak ”normal”. Saat ini kepercayaan akan Ratu Adil masih ada di Indonesia. Kepercayaan akan hadirnya sosok pemimpin yang dekat dengan rakyat dan dapat membawa nilai-nilai budaya luhur.
Teladan Pangeran Diponegoro yang sederhana dan sosok pembelajar perlu ditiru agar lahir pemikir yang dapat membangun bangsa lepas dari sekat-sekat perbedaan. Ada pepatah Tiongkok yang menyebut, ”Semoga Anda ditakdirkan hidup pada zaman yang menarik”. Dari pepatah tersebut, sejarawan asal Inggris, Peter Carey, memberi gambaran, zaman Pangeran Diponegoro (1785-1825) dan zaman sekarang mempunyai kemiripan.
”Dua zaman ini memiliki unsur ’luar biasa’, yang mana sejarah seperti mengalami gejolak yang dahsyat sehingga menjadi zaman kegelisahan atau zaman edan dalam istilah pujangga pamungkas sastra Jawa klasik, Ronggowarsito (1802-1873),” kata Peter dalam ceramah kebudayaan dengan topik ”Ratu Adil dalam Pusaran Politik Indonesia Modern” di Pusat Kesenian Teater Salihara, Jakarta, Selasa (29/1/2019) malam.
Seorang Ratu Adil adalah zaman yang menghendaki salah seorang pemimpin mempunyai bakat luar biasa yang bisa membaca tanda zaman dan alam.
Dalam ceramah, Peter memaparkan sebuah fenomena atau kepercayaan akan datangnya ”Ratu Adil" selalu hadir di negara bekas jajahan, termasuk Indonesia. Pandangan fenomena tersebut adalah memimpikan pemimpin bangsa adil dan mampu menciptakan kedamaian , ketenteraman, dan kesejahteraan.
Peter mengatakan, konteks munculnya seorang Ratu Adil adalah zaman yang menghendaki salah seorang pemimpin mempunyai bakat luar biasa yang bisa membaca tanda zaman dan alam.
Kepercayaan akan datangnya seorang Ratu Adil atau Imam Mahdi (di kalangan umat Islam) muncul pada zaman tertentu. Zaman yang dianggap tidak ”normal”. Menurut Peter, jika melihat sejarah Indonesia, Ratu Adil hadir salah satunya dalam sosok Pangeran Diponegoro.
Ia menceritakan, Keraton Yogyakarta abad ke-19 menjelang Perang Jawa (1825-1830), Sang Pangeran harus menerima tugas untuk bertindak sebagai juru selamat atau Ratu Adil bagi rakyat Jawa Tengah bagian selatan. Saat itu, daerah tersebut diinjak penindasan kolonial Inggris (1811-1816) dan Belanda (pasca-1816).
Di masa penindasan, Pangeran Diponegoro harus memiliki pemahaman yang sangat jelas tentang perannya sebagai pemimpin dalam perang pembersihan untuk membangun tatanan moral baru di Jawa yang didasarkan di atas agama Islam. Dalam istilah Panglima Diponegoro, Basah Pengalaman (1795-pasca- 1866), mangun luhuripun Islam wonten ing Tanah Jawa sedaya.
Amanat tersebut ada di babad yang ditulis Pangeran Diponegoro pada awal pengasingan di Manado (Mei 1831-Februari 1832), yang mengisahkan pertemuan dengan penampakan Sang Ratu Adil di Gunung Rasamuni di lereng Gunung Kidul (19 Mei 1824).
Dengan mengemban tugas sebagai Ratu Adil, Pangeran Diponegoro dipercaya akan bisa mengembalikan masyarakat Jawa ke dalam tatanan baru yang tenteram dan sejahtera.
Pada 1 Sura Tahun Jawa 1737 (15 Agustus 1825), tugas Diponegoro dibuktikan dengan gelar Sultan Ngabdulkamid Erucokro Sayyidin Panatagama di Jawa Kalifat Rasulullah. Gelar ini didasarkan pada wangsit berupa suara yang jauh tetapi jelas didengar Pangeran Diponegoro saat menyepi di Gua Selarong menjelang akhir bulan puasa (18 April-18 Mei 1825) dua bulan sebelum meletusnya Perang Jawa (20 Juli 1825)
X.X 48. ”Hai, kamu, Ngandulkamid,
49. Kamu telah dianugerahi gelar oleh Yang Maha Kuasa Sultan Ngabdulkamid Erucokro Sayyidin Panatagama di Jawa Kalifat Rasulullah. Diberkatilah kamu!”
Istilah Erucakra adalah gelar yang terkait erat di Jawa dengan konsep Ratu Adil. ”Seorang penguasa yang diperkirakan muncul pada akhir periode kekacauan dan tekanan sosial-ekonomi untuk membangun aturan keadilan baru dan keadaan yang makmur untuk wong cilik (rakyat kecil),” kata Peter.
Teladan Pangeran Diponegoro
Melalui ceramahnya, Peter mengajak penonton yang hadir, khusus seluruh masyarakat Indonesia, untuk melihat sejarah dan meneladani hidup Pangeran Diponegoro sebagai cermin untuk melihat identitas bangsa agar tidak tergerus paham-paham yang dapat memecah nilai luhur budaya Indonesia.
Cermin yang bisa dilihat adalah persentuhan pangeran muda dengan rakyat kecil. Peter menceritakan, Diponegoro lahir sebagai seorang bangsawan, putra sulung dari cucu tertua pendiri Keraton Yogyakarta, Sultan Mangkubumi. Bapak Diponegoro adalah Sultan Hamengku Buwono III.
”Kalau meminjam istilah Inggris, Sang Pangeran lahir dengan sendok perak di mulut,” kata Peter.
Meski demikian, kata Peter, pangeran muda hidup bersama eyang buyutnya, Sultan Mangkubumi, dan sang permaisuri, Ratu Ageng. Beberapa bulan setelah wafatnya sang suami, Sultan Mangkubumi (24 Maret 1792), eyang buyut Diponegoro pergi dari keraton untuk menghindari konflik dengan anak-anaknya dan persekongkolan keluarga yang tak kunjung berakhir di keraton.
Di usia menjelang tujuh tahun, pangeran yang saat itu bergelar Bendoro Raden Mas Mustahar mengikuti dan menemani perempuan tangguh yang menjadi pemomongnya.
Dari sinilah Diponegoro muda mulai bersentuhan dengan rakyat kecil. Sembari menunggu rumah yang sedang dibangun di Tegalrejo, ia bersama eyang buyutnya menempati sebuah gubuk di tengah-tengah sawah yang sedang digarap di areal barat laut Yogyakarta. Di tangan sang eyang buyut, pangeran muda diajarkan hidup sederhana dan sikap rendah hati.
Perempuan memiliki peran penting dalam perjalanan Pangeran Diponegoro.
Pangeran muda sangat jarang bertemu dengan ayahnya. Perjumpaan hanya waktu tertentu, seperti Garebek (upacara Islam-Jawa), kelahiran Nabi Muhammad SAW (Garebek Mulud), akhir bulan puasa (Garebek Puasa), dan kerelaan Nabi Ibrahim untuk mengurbankan putranya Ismail, dan peristiwa naik haji (Garebek Besar).
Meski hidup dan tumbuh tanpa kehadiran seorang ayah, justru seorang perempuan kuat, seperti eyang buyutnya yang mengasuh Diponegoro sampai usia 18 tahun, berperan penting terhadap perkembangan aspek feminin wataknya. Ia memiliki kepekaan kepada alam dan binatang, intuisi naluri dan nurani yang tajam, serta kemampuannya membaca watak melalui ekspresi wajah.
”Perempuan memiliki peran penting dalam perjalanan Pangeran Diponegoro,” kata Peter.
Ia mengatakan, teladan lainnya yang dapat dipetik adalah Diponegoro adalah sosok pembelajar (ngelmu) dan pengembara (lelono). Masa remajanya mengalami perjalanan rohani yang menuntutnya mengenal diri sendiri dan segala kegiatan rohani untuk memperjelas takdirnya.
Berbudaya dan tak lupa sejarah
Menurut Peter, konteks mengenal diri sendiri di era sekarang sangat penting. Ia mengatakan, Indonesia seperti menjadi deracinée (tanpa akar). Jarang anak sekarang bisa dengan tegas menjawab pertanyaan eksistensial yang mendasar, seperti siapa diri saya? dari mana? mau ke mana?
Kalau Indonesia ingin sebuah masa depan yang sukses dan cemerlang, mereka harus bisa menguasai soft power sebagai negara, yaitu kemampuan untuk membuat suara Indonesia didengar dunia luar.
Ia mengatakan, ada masalah lebih besar daripada isu pribumi dan non-pribumi (politik identitas), yaitu tidak kehilangan identitas budaya yang unik dan beragam. ”Kapasitas untuk menemukan kembali diri sendiri adalah ciri utama seorang Ratu Adil,” kata Peter.
Peter mengatakan, Indonesia yang kaya akan seni dan budaya harus terus dipegang. Politik identitas justru dapat mengancam kesatuan dalam keberagaman di Nusantara.
Sosok pembelajar seperti Diponegoro harus dijalani masyarakat Indonesia, terutama di dunia pendidikan. Peter menyoroti, pendidikan Indonesia yang harus melahirkan pemikir, cendikiawan, dan intelektual publik yang dapat mendorong balik batas pengetahuan dan terlibat secara bermakna dengan masyarakat dan pemerintah yang lebih luas.
Ia menganggap Indonesia sangat kehilangan individu-individu pemikir yang mampu memberikan sebuah perubahan. Namun, menurut Peter, Indonesia perlu bersyukur memiliki sosok seperti Gus Dur yang memiliki semangat dan nilai toleransi. Selain itu, ada sosok-sosok yang memiliki inisiatif reformasi dalam hal pelayanan publik, seperti Ignasius Jonan.
”Kalau Indonesia ingin sebuah masa depan yang sukses dan cemerlang, mereka harus bisa menguasai soft power sebagai negara, yaitu kemampuan untuk membuat suara Indonesia didengar dunia luar. Untuk mencapai itu, harus dan menekankan bobot secara budaya dan intelektual,” katanya.
Peter Carey sesungguhnya mengingatkan bangsa ini bahwa banyak hal yang bisa dipelajari dari masa lalu yang bisa menjadikan Indonesia negeri besar di masa depan. Seperti pidato hari kemerdekaan terakhir Soekarno pada 17 Agustus 1966, ”Abraham Lincoln berkata, one cannot escape history-orang tidak dapat meninggalkan sejarah, tetapi saya tambah, never leave history! Inilah sejarah perjuangan, inilah kisah sejarahmu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah akumulasi daripada hasil semua perjuangan kita di masa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan, dan lantas engkau menjadi bingung dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.” (AGUIDO ADRI)