Liverpool membuang peluang untuk unggul jauh dari Manchester City di klasemen sementara Liga Primer Inggris setelah ditahan imbang Leicester City. Problem mentalitas yang tak tahan pada tekanan perebutan gelar harus diselesaikan agar tidak terulang kisah pahit 2008/2009.
Pada pekan ke-24 Liga Inggris, Liverpool ditahan imbang, 1-1, saat menjamu Leicester di Anfield, Kamis (31/1/2019) dini hari WIB. Hasil seri ini membuat sang pemuncak klasemen gagal menjauhkan jarak menjadi tujuh poin dari Manchester City yang kalah kemarin malam.
”Si Merah” hanya menambah satu poin. Meski masih kokoh di puncak klasemen, selisih poin dengan City hanya lima poin dari potensial tujuh poin.
Di atas kertas, Liverpool seharusnya bisa menangangi pertandingan itu dengan kemenangan mudah. Mereka pun menunjukkannya saat unggul pada menit ke-2 lewat aksi solo Sadio Mane.
Namun, tim asuhan Juergen Klopp tiba-tiba kehilangan sentuhan pada pertengahan babak pertama. Hingga Leicester mencuri gol ketika injury time paruh pertama melalui sontekan pemain bertahan Harry Maquire.
Di babak kedua pun, agresivitas Liverpool baru muncul pada 10 menit jelang berakhirnya laga. Klub dengan produktivitas tinggi kedua, 55 gol, setelah City itu tampak kehabisan akal menghadapi pertahanan Leicester.
”Saya tidak melihat kami kehilangan poin. Kami mengambil apa yang kami dapat malam ini. Jadi semuanya baik saja. Tetapi apa saya terlalu senang? Tentu tidak karena kami ingin memenanginya,” kata Klopp dalam situs resmi Liverpool.
Menurut Klopp, salah satu kurang efektifnya permainan Liverpool karena salju tipis yang melapisi rumput lapangan. Akibatnya, bola menjadi tidak bisa mengalir cepat sebagaimana ciri khas permainan anak asuhnya.
Sementara itu, gelandang Liverpool, Giorgio Wijnaldum, kecewa karena tidak bisa menjauhkan jarak menjadi tujuh poin. ”Ya, kami kecewa. Semuanya kecewa. Tetapi lima poin juga cukup bagus karena semua poin berarti pada akhirnya,” ucapnya.
Namun, di balik persoalan poin terdapat masalah yang lebih besar bagi Liverpool. Itu adalah mentalitas dan ketenangan perebutan gelar. Awalnya, Mohamed Salah dan rekan-rekan begitu sempurna menjalani musim.
Namun, setelah mendapat tekanan dari City, saat kalah 1-2, pada awal Januari mereka mulai inkonsisten. Dalam dua laga berikutnya, Liverpool hanya menang satu gol dari Brighton 1-0 dan Crystal Palace 4-3.
Saat itu Liverpool finis di peringkat kedua dengan 86 poin, sedangkan United 90 poin. Seharusnya mereka menjuarai liga andai mampu menang di tiga laga melawan tim menengah ke bawah tersebut.
Kemenangan itu pun dengan catatan besar. Mereka nyaris ditumbangkan Palace. Saat itu, mereka sempat tertinggal 1-2 di babak pertama. Sementara itu, laga melawan Brighton dimenangi lewat gol Salah dari hadiah penalti.
Mendekati paruh kedua kompetisi atau semakin dekatnya akhir musim, performa pertahanan Liverpool juga menurun drastis. Dalam lima laga terakhir, mereka kemasukan tujuh gol, padahal sebelumnya mereka kemasukan tujuh gol dalam 19 laga awal musim.
Mentalitas juara anak asuh Klopp menjadi tanda tanya karena mereka belum pernah juara sejak pelatih asal Jerman itu menukangi Liverpool empat tahun lalu. Dari beberapa kali final, Piala Liga, Liga Champions, dan Piala Eropa, mereka selalu menjadi pemenang kedua.
Alarm ini tentunya harus diperhatikan Klopp karena sejak memenangi liga terakhir kali pada 1989/1990, mereka kerap tersandung saat trofi juara liga sudah di depan mata.
Tercatat sudah tiga kali Liverpool nyaris juara di era 2000-an, yaitu pada 2002, 2009, dan 2014. Salah satu kasus paling mirip adalah musim 2008/2009 saat ditangani Rafael Benitez.
Kala itu, Liverpool sudah memimpin klasemen saat pekan ke-21, Januari 2009. Mereka meninggalkan Manchester United yang tertinggal tujuh poin, tetapi masih menyisakan dua laga.
United mampu mengambil dua laga itu dan menipiskan jarak menjadi satu poin. Di momen penting itu, Liverpool justru seri tiga kali dari Stoke City, Wigan Athletic, dan Everton.
Kehilangan enam poin sangat berarti bagi Liverpool. Mereka menyerahkan gelar kepada sang rival abadi Manchester United. Saat itu, Liverpool finis di peringkat kedua dengan 86 poin, sedangkan United 90 poin. Seharusnya mereka menjuarai liga andai mampu menang di tiga laga melawan tim menengah ke bawah tersebut.
Tim dari kota pelabuhan itu juga menjadi satu-satunya tim dalam dekade terakhir yang tidak mampu juara setelah memimpin klasemen saat Natal. Keduanya dilakukan pada 2009 dan 2014.
Pada 2014, Liverpool kehilangan trofi saat kalah dari Chelsea yang tidak turun dengan pemain terbaiknya. Chelsea sudah tidak berkepentingan dalam perebutan juara. Insiden itu dikenang karena terpelesetnya Steven Gerrard yang mengakibatkan gol Chelsea.
Masalah mentalitas ini harus segera diselesaikan Klopp dan pemain-pemain Liverpool. Kalau tidak, mungkin penantian trofi liga akan melewati tiga dekade pada akhir musim ini. (AP/AFP/REUTERS)