Dua hari lalu, Dewan Pers memutuskan bahwa Tabloid Indonesia Barokah bukanlah produk pers karena tabloid ini tidak memenuhi syarat-syarat sebagai perusahaan pers sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers serta Kode Etik Jurnalistik. Jika berpegang pada aturan dan etika yang ada, sebenarnya publik tak perlu risau menghadapi serbuan berita-berita propaganda maupun hoaks.
Di tengah kondisi politik yang mulai menghangat menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden, Dewan Pers menerima permohonan pendapat dan laporan dari berbagai pihak terkait keberadaan Tabloid Indonesia Barokah, antara lain dari Tim Advokasi Prabowo-Sandi serta Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Jawa Tengah pada 24 dan 25 Januari 2019. Tim Advokasi Prabowo –Sandi menilai berita-berita yang dibuat tabloid yang disebar secara massif dan gratis tersebut mendiskreditkan pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo-Sandiaga Uno.
Begitu mendapatkan laporan tersebut, Dewan Pers langsung menelusuri alamat Tabloid Indonesia Barokah seperti tercantum dalam box redaksi kemudian mengundang pihak redaksi untuk memberikan klarifikasi pada 29 Januari 2019 di Sekretariat Dewan Pers, Jakarta. Namun demikian, pihak Indonesia Barokah tidak hadir tanpa memberikan alasan apapun.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley mengatakan, tulisan-tulisan Indonesia Barokah pada rubrik Laporan Utama, Liputan Khusus, dan Fikih ternyata merupakan kumpulan hasil-hasil liputan dan kutipan pernyataan narasumber yang telah dimuat di beberapa media siber. Namun, tulisan-tulisan tersebut memuat opini penghakiman yang mendiskreditkan calon presiden Prabowo tanpa verifikasi, klarifikasi, dan konfirmasi sesuai kode etik jurnalistik.
Tulisan-tulisan Indonesia Barokah pada rubrik Laporan Utama, Liputan Khusus, dan Fikih ternyata merupakan kumpulan hasil-hasil liputan dan kutipan pernyataan narasumber yang telah dimuat di beberapa media siber.
Dari sisi administratif, keberadaan Indonesia Barokah tidak jelas karena tak mencantumkan nama badan hukum, penanggungjawab, serta alamat percetakan sesuai ketentuan UU Pers. Selain itu, nama-nama wartawan yang tercantum pada box redaksi juga tidak terdata di Dewan Pers sebagai wartawan yang telah mengikuti uji kompetensi wartawan.
Berdasarkan penilaian konten dan pencocokan syarat administrasi, Dewan Pers akhirnya memutuskan bahwa Indonesia Barokah tak memenuhi syarat sebagai perusahaan pers sehingga praktis tulisan- tulisan yang dihasilkannya bukanlah produk jurnalistik. Karena itu, jika muncul sengketa maupun keberatan terhadap penulisan Indonesia Barokah, maka penangangannya tak lagi menggunakan UU Pers.
Muncul jelang pemilu
Fenomena munculnya Tabloid Indonesia Barokah sebenarnya mirip dengan beredarnya Tabloid Obor Rakyat menjelang Pilpres 2014. Persis seperti keputusan Dewan Pers, 29 Desember 2019, setelah melakukan penilaian dari sisi administrasi dan konten, Ketua Dewan Pers saat itu, Bagir Manan, juga memutuskan bahwa Obor Rakyat bukanlah produk pers.
Fenomena munculnya Tabloid Indonesia Barokah sebenarnya mirip dengan beredarnya Tabloid Obor Rakyat menjelang Pilpres 2014.
Dalam Surat Ketua Dewan Pers kepada Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman Nomor 223/DP/K/VI/2014 tanggal 17 Juni 2014 tercantum beberapa temuan dan alasan mengapa Obor Rakyat yang waktu itu menyoroti calon presiden Joko Widodo tidak dapat dijangkau dengan UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik. Setidaknya terdapat enam poin pertimbangan, penilaian, dan pernyataan Dewan Pers dalam surat tersebut.
Rekomendasi pertama, Dewan Pers menemukan bahwa Obor Rakyat tidak memenuhi ketentuan mengenai bentuk badan usaha pers persis seperti yang dilakukan Indonesia Barokah. Kemudian pada poin kedua, Dewan Pers juga menengarai alamat redaksi yang tercantum di Obor Rakyat fiktif alias palsu.
Pada poin ketiga, Dewan Pers menilai Obor Rakyat tidak memenuhi prinsip-prinsip jurnalistik dan ketentuan mengenai asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranan pers seperti diatur dalam UU Pers.
“Isi Obor Rakyat hanya didasarkan pada asumsi dan opini semata. Tak ada satupun prinsip-prinsip jurnalistik seperti berita harus aktual, berimbang, tidak memuat hal-hal yang terkait dengan pertentangan SARA, kewajiban melakukan verifikasi, tidak menghakimi, serta harus cover both sides,” kata Bagir.
Keempat, sama dengan rekomendasi Dewan Pers terhadap Indonesia Barokah, Obor Rakyat juga dipastikan berada di luar ranah jurnalisme sehingga tidak dapat dijangkau melalui mekanisme UU Pers. Dengan demikian, pada poin kelima kelima, sesuai Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri, karena kasus Obor Rakyat tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme UU Pers, maka Polri dapat mengambil alih apabila ditemukan pelanggaran hukum.
Terakhir, pada poin keenam Dewan Pers menyatakan kesediaannya membantu Polri secara teknis dalam melakukan penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana yang berkaitan dengan penerbitan Obor Rakyat.
Belakangan, ketika muncul isu Obor Rakyat akan diterbitkan kembali, beberapa politisi langsung menyatakan penolakan keras. Hal berbeda disampaikan Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen, Revolusi Riza. “Media apapun boleh terbit, termasuk Obor Rakyat. Syaratnya, konten-konten pemberitaannya tetap harus sesuai dengan kode etik jurnalistik,” ujarnya.
Media apapun boleh terbit, termasuk Obor Rakyat. Syaratnya, konten-konten pemberitaannya tetap harus sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Di tengah tsunami informasi, Indonesia masih beruntung memiliki Undang-Undang Pers serta Kode Etik Jurnalistik atau himpunan etika profesi kewartawanan yang disepakati oleh asosiasi-asosiasi jurnalis. Jika menemukan informasi atau pemberitaan yang provokatif, bernada propaganda, atau meragukan, masyarakat sebenarnya tinggal merujuk kembali kepada aturan dan kode etik jurnalistik yang ada. Begitu tidak sesuai, maka dipastikan informasi atau berita tersebut tak berimbang dan palsu sehingga tidak layak dikonsumsi. Kalaupun publik masih ragu, serahkan saja ke Dewan Pers untuk menilainya.