Bulan Kampanye, antara Rowosari dan Yogyakarta, Dua Dunia Bertolak Belakang
Atribut atau gambar bisa bermakna seribu kata. Namun, di tengah situasi kampanye seperti sekarang, warga Rowosari, Lingkungan Gondang Ngisor, Kelurahan Manggong, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, justru melarang pemasangan spanduk, atribut, atau gambar caleg di lingkungan mereka.
Membandingkan antara Rowosari yang hanya setingkat kampung (dusun) dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tentu tidak sesuai. Namun, DIY mungkin bisa sedikit belajar pada semangat warga Rowosari yang ingin wilayahnya tidak terkena polusi gambar atau atribut politik.
DIY menyandang keistimewaan, tetapi dinilai tidak mampu menata atribut dan spanduk politik yang bertebaran di ruang publik. Inisiator Reresik Sampah Visual yang juga Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta, Sumbo Tinarbuko, mengkritisi dengan keras daerahnya.
”Pada tahun politik ini, alat peraga kampanye (APK) bersalin fungsi menjadi teroris visual yang rajin menyebar sampah visual iklan politik di ruang publik. Fenomena menjamurnya sampah visual iklan politik di ajang kampanye capres dan caleg ini membuat keberadaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi cacat tercoreng,” kata Sumbo di Yogyakarta, Rabu (30/1/2019).
Di Rowosari tidak ada satu makna pun dibiarkan terungkap karena mereka bahkan menolak adanya pemasangan atribut partai politik ataupun caleg di lingkup kampung mereka. Larangan ataupun penolakan terhadap pemasangan atribut tersebut ditegaskan dalam tulisan dalam spanduk yang terpasang di rumah salah satu warga di tepi jalan kampung.
Tarwiyah (45), salah seorang warga Rowosari, mengatakan, tulisan dalam spanduk sekadar ”formalitas” sikap warga. Namun, sebenarnya kehidupan dan perilaku masyarakat kampung Rowosari sebenarnya sudah menjauh dari politik sejak lama. Dibandingkan dengan kampung-kampung lain, Rowosari relatif sepi dari gambar dan aneka atribut parpol lainnya.
Tidak hanya dalam pemilu, kondisi serupa bahkan juga terjadi pada pemilihan gubernur Jawa Tengah dan pemilihan bupati Temanggung tahun lalu. Karena tidak pernah melihat foto atau gambar calon di jalan desa, Tarwiyah kebingungan saat akan menggunakan hak pilihnya.
”Ketika itu, kali pertama saya melihat foto calon, ya, cuma saat berada di TPS (tempat pemungutan suara). Sebelumnya, saya sama sekali tidak tahu calon yang maju untuk dipilih itu siapa,” ujarnya sembari terkekeh. Selain karena jarang pergi jauh dari rumah, Tarwiyah yang sehari-hari hanya menjadi ibu rumah tangga mengaku tidak tahu perihal calon dalam ajang pemilihan gubernur dan bupati karena dirinya jarang memperhatikan gambar yang terpasang di jalan di wilayah lain.
Kendati demikian, dia tetap memastikan diri untuk memilih dalam pemilu dan pilpres. Kendatipun belum mengetahui nama dan figur caleg, dia mengaku tetap bisa memilih dengan baik. ”Pokoknya, memilih sesuai keyakinan saja,” ujarnya.
Tarwiyah sadar, memilih dalam pemilu dan pilpres adalah hal penting untuk dilakukan. Namun, dia tetap ikhlas seandainya calon yang terpilih tidak sesuai dengan pilihannya di TPS.
”Siapa pun yang terpilih, ya, silakan saja. Tidak akan berpengaruh apa-apa karena kehidupan yang kita jalani tergantung dari kita sendiri, bukan tergantung dari orang yang terpilih dalam pemilu,” ujarnya.
Kepala Lingkungan Gondang Ngisor, Rokhim, mengatakan, perilaku warga Romosari yang tenang, bahkan cenderung cuek terhadap ingar bingar politik tersebut, muncul karena masyarakat di kampung tersebut memang kelompok masyarakat yang sibuk. Berpenduduk 300 jiwa, sekitar 90 persen warga berprofesi sebagai pedagang dan produsen tahu, tempe, serta aneka makanan tradisional.
”Aktivitas mereka sangat padat. Rata-rata pedagang biasanya berangkat ke pasar pukul 01.00 dan baru pulang ke rumah setelah pukul 16.00,” ujarnya.
Profesi pedagang tersebut dijalani oleh pasangan suami istri. Kalau tidak berdagang di pasar, sebagian istri biasanya berdagang, membuka warung, atau memelihara ternak di rumah.
Saat datang ke kampung Rowosari pada Selasa (29/1/2019) dan Rabu (30/1/2019), kesibukan mereka terbukti oleh suasana kampung yang senyap. Beberapa orang yang ditemui, mengatakan, sejumlah perangkat, seperti pengurus RT, biasanya baru bisa ditemui di rumah setelah pukul 18.00.
Ketua Karang Taruna Rowosari Purnomo mengatakan, ketenangan dan keseimbangan hidup di Rowosari terwujud karena warga tidak pernah mencampuradukkan urusan politik dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, Karang Taruna pun berupaya menjaga keseimbangan itu dengan memasang spanduk yang melarang keras pemasangan atribut di lingkup kampung.
Kenakalan politik
Menyoroti lebih jauh kondisi DIY, menurut Sumbo, peserta Pemilu 2019 yang terdiri dari capres dan caleg beserta parpol dan tim sukses seharusnya memberikan contoh positif. Mereka seharusnya mampu menghadirkan sebentuk kampanye politik yang menjadikan alat peraga kampanye dan iklan politik sebagai sebuah dekorasi kota yang komunikatif, artistik, menarik, dan unik.
”Atas kenakalan politik yang dilakukan peserta Pemilu 2019, warga masyarakat merasa tertekan kemerdekaan visualnya. Ujungnya, bencana sosial pun menimpa ruang publik. Aksi teroris visual atas perintah peserta Pemilu 2019 kemudian secara sembarangan menyebar, memakukan, dan menempelkan sampah visual iklan politik dan APK di pagar jembatan, tiang listrik, gardu dan tiang telepon, dahan pohon, serta tiang rambu lalulintas,” kata Sumbo.
Melihat kondisi DIY yang memprihatinkan, Komunitas Reresik Sampah Visual menuliskan pernyataan sikap. Pertama, Komunitas Reresik Sampah Visual tempat berkumpulnya anak muda yang peduli dengan ruang publik serta peduli lingkungan hidup yang ramah secara ekologi visual. Kedua, Komunitas Reresik Sampah Visual mengajak siapa pun: masyarakat luas, pemerintah, anggota DPRD, pejabat publik, capres, dan caleg beserta tim sukses serta partai politik untuk membangun kesadaran bersama demi mewujudkan ruang publik tetap menjadi milik publik, bukan diprivatisasi menjadi milik merek dagang, milik caleg, milik capres, atau milik partai politik.
Ketiga, DIY menjadi window display yang menggemban tugas kebudayaan untuk merepresentasikan ciri keistimewaannya lewat penataan iklan politik dan iklan komersial yang dipasang di ruang publik. Keempat, ramah tidaknya sebuah kota bagi warga masyarakat dan wisatawan, salah satu indikatornya, sejauh mana Pemerintah DIY mampu menekan tebaran sampah visual iklan politik dan iklan komersial yang cenderung menjadi teroris visual dan bencana sosial di ruang publik.
Atas kenakalan politik yang dilakukan peserta Pemilu 2019, warga masyarakat merasa tertekan kemerdekaan visualnya. Ujungnya, bencana sosial pun menimpa ruang publik.
Terakhir, Lima Sila Sampah Visual yang dibuat Komunitas Reresik Sampah Visual dapat dijadikan rujukan dalam membuat aturan hukum terkait dengan penatanaan dan pengawasan iklan politik dan iklan komersial di ruang publik. Kelima Sila Sampah Visual adalah: 1) iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di trotoar, 2) iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di taman kota dan ruang terbuka hijau, 3) iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di tiang telepon, tiang listrik, tiang lampu penerangan jalan, serta tiang rambu lalu lintas, 4) iklan politik dan iklan komersial dilarang dipasang di jembatan serta bangunan heritage, 5) iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang serta dipakukan di batang.
Gagasan intelektual dan elegan Sumbo sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dilaksanakan pemerintah, partai politik, dan masyarakat DIY. Apalagi, dengan adanya media sosial, seharusnya media luar di ruang publik bisa makin dikurangi. Bukankah selama ini masyarakat di kota lebih banyak melihat ponsel mereka, bahkan ketika mereka naik mobil dan motor. Saatnya, dengan rendah hati belajar pada kebijaksanaan masyarakat Rowosari. Tak usah terlalu ekstrem antispanduk, atribut, dan gambar, tetapi paling tidak mbok ya rada nyeni sedikit....