JAKARTA, KOMPAS — Pemecatan terhadap 2.357 aparatur sipil negara terpidana korupsi berjalan lambat karena keengganan pejabat pembina kepegawaian mengeluarkan surat pemberhentian. Agar tak berlarut-larut, pemerintah mengeluarkan pedoman teknis pemecatan aparatur bermasalah itu. Rumusan pedoman ini ditargetkan selesai Maret mendatang.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan, di Jakarta, Rabu (30/1/2019), mengatakan, keraguan pejabat pembina kepegawaian (PPK) mengeluarkan surat pemberhentian disebabkan batas vonis aparatur sipil negara (ASN) terpidana korupsi yang ditetapkan pengadilan sudah lewat.
Selain itu, PPK juga takut dimintai ganti rugi karena selama ini ASN terpidana korupsi masih menerima gaji. Hambatan lain adalah kedekatan hubungan antara PPK dan ASN.
Untuk mempercepat proses tersebut, sejumlah kementerian dan lembaga sepakat mengeluarkan pedoman pemecatan ASN terpidana korupsi minggu depan. Kementerian dan lembaga itu adalah Mahkamah Agung (MA), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
”Arahannya, kalau mereka pecat sekarang, tidak perlu khawatir harus bayar ganti rugi gaji yang selama ini dibayar, tidak perlu khawatir juga kalau nanti digugat. Keputusan yang sudah dibuat (ASN terpidana korupsi) tetap berlaku dan sah sampai tanggal pemecatan. Ini supaya kepala daerah tak ragu memecat lagi karena selama ini prosesnya lambat sekali,” tutur Pahala.
Data BKN hingga 30 Januari 2019, dari total 2.357 ASN terpidana korupsi, baru 478 orang yang diberhentikan tidak hormat. Masih ada 1.879 ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan. Mayoritas ASN tersebut merupakan ASN di pemerintah daerah.
Pahala menjelaskan, BPK telah sepakat agar tidak ada penghitungan kerugian negara. Hal itu bertujuan agar tidak ada keraguan bagi PPK untuk mengembalikan biaya ganti rugi karena masih menggaji ASN terpidana korupsi selama ini.
Tak hanya itu, ASN terpidana korupsi yang sudah pensiun dan mendapatkan tunjangan pensiun, lanjut Pahala, juga akan diberhentikan tunjangannya. Sebab, mereka tidak berhak mendapatkannya.
Selain itu, MA juga sepakat tidak akan mengabulkan permohonan gugatan ASN terpidana korupsi, baik di tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun peninjauan kembali (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. Sebab, pada Pasal 87 Ayat 4 Huruf (b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, tegas dinyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan melakukan tindak pidana kejahatan jabatan.
”Jadi, kalau ada yang masih mengajukan judicial review atau gugatan di PTUN, atau belum dapat salinan putusannya, langsung saja, tetap dipecat saat itu juga,” katanya.
Dalam pedoman itu, Pahala juga menyebutkan, akan ada komitmen baru penyelesaian kasus pemecatan 2.357 ASN terpidana korupsi. Kemendagri, Kementerian PANRB, dan BKN menargetkan masalah itu selesai Maret 2019.
Sebelumnya, pada 13 September 2018, tiga kementerian dan lembaga itu menyepakati target pemecatan 2.357 ASN terpidana korupsi selesai pada akhir Desember 2018. Namun, hingga kini, pemecatan tersebut tak kunjung tuntas.
”Maret itu harus selesai. Kalau tidak selesai, kami akan panggil Menpan, Mendagri, dan Kepala BKN. Kami akan tanyai, selama ini apa sih yang dikerjakan,” kata Pahala.
Otoritas pusat
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, komitmen pemerintah pusat akan dipertanyakan jika target pemecatan tak tercapai kembali. Menurut dia, jika masalah itu terus berlarut, berarti ada unsur kesengajaan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang abai terhadap hukum.
”Itu bisa jadi bentuk permainan penghinaan terhadap hukum. Bagaimanapun, orang yang sudah berstatus narapidana dan masih pegawai bahkan masih dapat hak dari negara, ini bukan unsur kelalaian, tetapi kesengajaan yang luput dari tindakan tegas dari pemerintah pusat dan daerah,” ujar Robert.
Karena itu, menurut Robert, sebenarnya kunci dari penyelesaian kasus itu ada di Mendagri sebagai pembina utama dari PPK. Apalagi, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kemendagri sudah diberikan mandat kuat untuk memberikan tindakan tegas, bahkan mengambil alih sebagian kewenangan dari kepala daerah terhadap komitmen nasional yang telah diabaikan pemerintah daerah.
”Tinggal, ada tidak kemauan itu? Kita butuh tindakan-tindakan yang sangat tegas. Kita agak sulit membayangkan PPK untuk ambil tindakan karena boleh jadi ASN yang terlibat dalam perkara hukum itu adalah orang-orang yang dekat dengan mereka,” kata Robert.