Negara Belum Mampu Lindungi Aktivis dari Ancaman Teror
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rumah Direktur Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Nusa Tenggara Barat Murdani diduga dibakar orang tak dikenal, Senin (28/1/2019) lalu. Rumah Murdani diduga dibakar terkait aktivitasnya mengungkap praktik pertambangan pasir ilegal di Nusa Tenggara Barat. Teror seperti ini kembali mengingatkan bahwa perlindungan terhadap aktivis lingkungan, hak asasi manusia, dan antikorupsi dari ancaman teror, intimidasi, dan kekerasan dinilai masih lemah.
Rumah Murdani di Dusun Gundul, Desa Menemeng, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, diduga dibakar sekitar pukul 03.00. Tidak ada korban jiwa pada peristiwa ini. Murdani dan keluarganya berhasil selamat.
Tim Walhi mencatat ada empat titik pembakaran, antara lain di pintu masuk dan pintu dapur yang menjadi akses masuk dan keluar rumah. Dua titik api lainnya ditemukan di depan dua mobil milik korban. Walhi juga menemukan sebuah topi di lokasi kebakaran yang diduga milik pelaku.
Manajer Departemen Kebijakan dan Pembelaan Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional Walhi Edo Rakhman mengatakan, sejumlah ancaman pernah diterima Murdani melalui pesan singkat. Sebelumnya, ancaman tersebut sudah dilaporkan kepada kepolisian, tetapi belum ada penanganan lebih lanjut.
”Kami duga pembakaran ini ada hubungannya pengungkapan tambang pasir ilegal oleh Walhi di NTB. Kami akan coba menghimpun bukti-bukti terlebih dahulu,” kata Edo pada konferensi pers yang diadakan Walhi di Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Dalam banyak kasus teror terhadap aktivis lingkungan, antikorupsi, dan hak asasi manusia, polisi belum mampu mengungkap para pelakunya. Negara dianggap belum mampu melindungi aktivis dari ancaman teror.
”Kasus ini merupakan rangkaian peristiwa panjang yang banyak menyerang kelompok pembela HAM di Indonesia, terutama di sektor lingkungan hidup. Kasus ini juga menjadi wajah penyerangan serius terhadap para pembela HAM,” kata Manajer Kampanye Amnesty International Puri Kencana Putri.
Puri mengatakan, ancaman terhadap para aktivis pernah beberapa kali terjadi, antara lain penyerangan kantor Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim pada 2018 serta pembunuhan yang menewaskan petani dan aktivis lingkungan Jawa Timur, Salim Kancil, pada 2016.
Dua tahun silam, penyidik KPK Novel Baswedan disiram air keras dan hingga sekarang polisi belum menangkap pelakunya. Sementara beberapa waktu lalu, dua komisioner KPK, Agus Rahardjo dan Laode M Syarif, juga diteror. Rumah Agus di Bekasi sempat diteror dengan bom palsu, sementara kediaman Laode di Kalibata dilempar bom molotov. Polisi hingga sekarang belum mampu mengungkap siapa pelakunya.
”Ini adalah bentuk ketidakmampuan negara untuk melindungi para aktivis HAM melalui mekanisme, kepastian, dan perlindungan hukum. Pemerintah juga lamban dalam menangani kasus-kasus serupa. Harus ada upaya preventif untuk menghadapinya,” kata Puri.
Kepala Advokasi Umum Yayasan Perlindungan Insani Indonesia Ainul Yaqin mencatat, ada 171 aktivis lingkungan hidup yang menerima kekerasan ataupun ancaman sepanjang 2010-2018. Kasus yang dialami Murdani dinilai sebagai momentum agar pemerintah menerbitkan perlindungan bagi aktivis lingkungan hidup.
Ini adalah bentuk ketidakmampuan negara melindungi para aktivis HAM melalui mekanisme, kepastian, dan perlindungan hukum. Pemerintah juga lamban dalam menangani kasus-kasus serupa.
Ainul mengapresiasi regulasi perlindungan korban ataupun aktivis yang dinilai progresif, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun, menurut dia, implementasi regulasi yang sudah ada masih lemah.
”Pemerintah tidak boleh mengabaikan kasus-kasus seperti ini. Jika diabaikan, negara bisa dikategorikan sebagai pelanggar HAM,” kata Ainul.
Sementara itu, pengacara publik dan advokat Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Muhamad Isnur mengatakan, para aktivis lingkungan hidup perlu dilindungi. Sebab, gerakan-gerakan yang dilakukan aktivis tidak hanya membawa manfaat bagi masyarakat, tetapi juga membantu negara untuk melaksanakan tugasnya, yakni menjaga lingkungan hidup.
Pernah terjadi
Menurut peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, ada sejumlah indikasi di lapangan yang mengarah pada aksi pembakaran secara sengaja. Ia menilai cat mobil yang tidak terkelupas seluruhnya dan adanya bekas bahan bakar pada mobil yang terbakar menjadi indikasi kesengajaan.
Hingga kini, kasus diduga pembakaran tersebut sudah dilaporkan kepada Polsek Pringgarata dan akan dilimpahkan ke Polda NTB. Pihak korban juga akan meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Saat dihubungi terpisah, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan, ia sudah berkomunikasi dengan Direktur Walhi NTB. Pihaknya juga telah menerima surat permohonan perlindungan terhadap Murdani dan keluarganya.
”Dalam waktu dekat, kemungkinan minggu ini kami akan turun ke lapangan. Kami akan ke lokasi kejadian dan mempelajari tingkat ancaman,” kata Edwin.
Edwin mengatakan, pihaknya juga terbuka apabila ada saksi-saksi dari kasus kebakaran ini yang meminta perlindungan. Namun, permohonan perlindungan ini harus diajukan sendiri atas kemauan saksi ataupun korban. (SEKAR GANDHAWANGI)