JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi dalam tiga perkara dan tidak dapat menerima satu permohonan lainnya. Putusan itu dibacakan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang pengucapan putusan pada sidang pleno terbuka di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Tiga perkara yang ditolak itu adalah pengujian Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dijadikan satu perkara.
Perkara ketiga yang ditolak adalah permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Adapun perkara yang tidak dapat diterima permohonannya adalah pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Persidangan yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman itu diikuti oleh hakim-hakim MK lainnya. Mereka adalah Aswanto, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra.
Sejumlah anggota Polri turut menghadiri persidangan tersebut. Mereka menaruh perhatian pada uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Hal itu khususnya terkait dengan norma penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ pada frasa “menggunakan telepon” yang dalam praktiknya diperluas sehingga termasuk pula pada praktik menggunakan GPS (global positioning system).Hal tersebut membuat para pengguna GPS di smartphone terancam sanksi pidana yang diatur ketentuan norma Pasal 283 UU LLAJ.
Dalam pertimbangannya, hakim MK menyatakan bahwa permohonan para pemohon yang berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “menggunakan telepon” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) tidak beralasan menurut hukum. Demikian pula halnya dengan frasa “melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan” yang terdapat dalam Pasal 283 UU 22/2009.
Menanggapi putusan itu, Yustinus Danang yang mewakili biro hukum Kementerian Perhubungan menyatakan hakim MK telah melihat secara komprehensif perkara tersebut. Ia kepastian hukum terkait dua pasal dalam undang-undang tersebut dapat diberikan melalui putusan tersebut yang melindungi pengemudi termasuk pengguna jalan lainnya.
Sementara salah seorang kuasa hukum pemohon, Ade Manansyah mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan komunkasi lanjutan untuk menentukan langkah lebih luas lagi terkait uji materi tersebut.
Kasuistis
Ade menambahkan, pihaknya menghormati putusan hakim MK dalam perkara tersebut. Namun, pihaknya mengingatkan bahwa penerapan pasal terkait penggunaan GPS yang mesti dilihat secara kasuistis juga dinilai cenderung bias. Pasalnya pada praktik di lapangan bakal terdapat kecenderungan sulitnya membedakan hal-hal yang disebut kasuistis serta dianggap membahayakan pengguna jalan lainnya sehingga dapat dinilai melanggar hukum dan yang tidak.
Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas usai mengikuti persidangan itu mengatakan putusan itu membuat penegakan hukum terhadap penggunaan telepon genggam saat mengemudi dapat dilakukan.
“Penjelasan putusan MK juga jelas sekali bahwa penolakan uji materi tersebut tidak berarti menghalangi penggunaan GPS dalam mengemudi. Karena (terutama untuk mobil) GPS dapat ditempatkan pada posisi yang tidak mengganggu konsentrasi,” sebut Darmaningtyas.
Sementara perkara perubahan atas UU Nomor 24/2003 tentang MK yang dimohonkan Muhammad Hafidz diputuskan tidak dapat diterima. Pada bagian pertimbangan putusan itu disebutkan, dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi.
Permohonan Hafidz itu terkait dengan KPU yang hendak melaksanakan putusan MK dan justru terancam dipidanakan, karena menurut pemohon terdapat beberapa putusan MA yang bertentangan dengan Nomor 30/PUU-XVI/2018. Putusan itu pada intinya menegaskan bahwa calon anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) tidak diisi fungsionaris partai politik.