JAKARTA, KOMPAS - Dewan Pers belum membawa usulan penggantian tanggal Hari Pers Nasional baru dari Aliansi Jurnalis Independen dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia ke rapat pleno. Pasalnya, kepanitiaan Hari Pers Nasional sudah terbentuk dan pelaksanaannya tinggal beberapa hari ke depan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengajukan usulan Hari Pers Nasional (HPN) yang baru kepada Dewan Pers sejak 23 Januari 2018. Mereka mengusulkan perubahan tanggal HPN dari 9 Februari (tanggal kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia 9 Februari 1946) menjadi 23 September yang merupakan hari pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
AJI dan IJTI mengusulkan perubahan tanggal HPN dari 9 Februari (tanggal kelahiran PWI 9 Februari 1946) menjadi 23 September yang merupakan hari pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sejak ditetapkan 20 tahun lalu, UU Pers banyak menunjukkan manfaat dalam melindungi kebebasan pers serta memastikan hak-hak publik untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi. Dengan mempertimbangkan proses pembahasan UU Pers yang sangat demokratis, substansi UU Pers yang selaras dengan konstitusi negara dan standar internasional, serta manfaatnya dalam menjamin kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi, maka AJI dan IJTI mengajukan momentum penetapan UU Pers tanggal 23 September 1999 sebagai pengganti HPN 9 Februari.
“Usulan ini belum sempat dibahas di rapat pleno Dewan Pers. Untuk saat ini, perubahan HPN tidak mungkin dilakukan karena panitia HPN telah terbentuk sejak Agustus tahun lalu. Begitu HPN dilaksanakan setiap 9 Februari, sebulan berikutnya biasanya sudah dibentuk kira-kira siapa panitia HPN tahun selanjutnya. Karena itu, begitu HPN digelar, usulan penggantian sebaiknya segera disampaikan sebelum terbentuknya panitia,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, Senin (28/1/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Meski belum sempat membahasnya di rapat pleno, beberapa diskusi di Dewan Pers cenderung merekomendasikan adanya revitalisasi HPN, bukan mengganti tanggal HPN. Dewan Pers mengusulkan penyelenggaraan HPN tetap digelar setiap tanggal 9 Februari, tetapi penyelenggaranya bergantian.
Selain itu, upaya revitalisasi HPN lainnya dilakukan dengan membuat kegiatan-kegiatan penguatan wartawan dan mengurangi acara-acara seremonial yang menghabiskan dana besar. “Namun, jika AJI dan IJTI tetap bersikukuh mengubah tanggal HPN, maka asosiasi-asosiasi jurnalis bisa membuat HPN sendiri-sendiri dan Dewan Pers akan membantu setiap konstituen dalam pelaksanaan maupun penganggarannya. Tentu ini akan muncul masalah lagi karena AJI selama ini tidak menerima anggaran dari pemerintah,” tambah Stanley.
Terlepas dari semuanya, pada prinsipnya Presiden membutuhkan penjelasan yang diperkuat dengan hasil penelitian terkait usulan perubahan HPN. Sebab, HPN ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985.
Setahun sebelum kepres itu terbit, Menteri Penerangan waktu itu, yang juga mantan Ketua PWI, Harmoko, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 2 Tahun 1984. Isi peraturan tersebut adalah menyatakan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah.
Jika ditarik jauh ke belakang, PWI bukan satu-satunya organisasi wartawan yang pernah ada di Republik ini. Pada masa penjajahan sudah muncul sejumlah organisasi wartawan, seperti Inlandsche Journalisten Bond (1914), Sarekat Journalists Asia (1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940).
PWI bukan satu-satunya organisasi wartawan yang pernah ada di Republik ini.
Setelah rezim Orde Baru runtuh pada 1998, di Indonesia bermunculan organisasi-organisasi pers baru yang otomatis mempertanyakan relevansi 9 Februari sebagai HPN. Organisasi wartawan seperti AJI dan IJTI secara tegas menolak 9 Februari sebagai HPN dan enggan terlibat jauh dalam setiap kegiatan-kegiatan HPN.
Tetap mengusulkan
Meski hingga kini Dewan Pers belum membahas usulan perubahan tanggal HPN ke rapat pleno, namun AJI dan IJTI tetap menunggu tanggapan dan sikap Dewan Pers terhadap usulan penggantian tanggal HPN dari 9 Februari menjadi 23 September. “Kami tetap pada usulan awal,” kata Ketua Umum AJI Abdul Manan.
Ketua IJTI Yadi Hendriana berharap muncul kesepakatan bersama dari semua insan pers Indonesia untuk menentukan peringatan HPN bersama. Untuk memperkuat usulannya, AJI dan IJTI menggelar dua kali seminar khusus mencari tanggal HPN, yaitu pada 22 Juli 2010 dan 16 Februari 2017, dengan mendatangkan tokoh-tokoh pers seperti Asvi Warman Adam (sejarawan), Suryadi (peneliti Universiteit Leiden, Belanda), dan Taufik Rahzen (penulis buku Seratus Tahun Jejak Pers Indonesia).
Mantan Ketua Umum PWI Margiono yang juga hadir dalam seminar kedua tanggal 16 Februari 2017 tidak mempersoalkan pergantian tanggal HPN. Prinsipnya, HPN harus memberikan manfaat bagi pers.