Romantisisme Warga dan Kali yang Terus Terjalin
Dua bocah kelas enam sekolah dasar, Romi dan Rafly, asyik berenang dan bermain air di sebuah kali yang sejajar dengan Jalan Marsekal Suryadarma, Selapajang Jaya, Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Senin (28/1/2019).
Di sisi lain kali itu adalah area Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Kali tersebut bagaikan kolam renang privat bagi keduanya. Mereka naik ke sempadan, kemudian bebas melompat, menceburkan diri ke air keruh coklat kelabu di anak Kali Perancis itu.
Setelah selesai berenang, mereka memanjat ke sempadan, memeras celananya yang basah, kemudian memakai baju yang tadinya diletakkan di tanah. ”Udah biasa berenang, tetapi enggak tiap hari. Hari ini cuma berdua soalnya yang lain pada ke warnet (warung internet),” kata Romi.
Dua sekawan itu tidak langsung pulang. Pakaian mereka harus kering terlebih dahulu. Daripada khawatir merasa gatal-gatal karena berenang di air keruh, mereka lebih takut menjadi sasaran amuk ibu masing-masing jika pulang dengan baju basah kuyup.
Tak lama kemudian, dua kelompok bocah SD lainnya datang ke kali tersebut. Tanpa ragu mereka melepaskan baju, meletakkannya di tepi sungai, lalu menceburkan diri ke air.
Rachmat dan Andi, dua di antara sekitar 10 anak SD itu, tak pernah khawatir akan terjangkit penyakit kulit. Padahal, air kali itu tak hanya keruh, tetapi juga dikepung sampah. Bungkus plastik makanan, kertas, botol minuman, dan benda lain dapat ditemukan di sana.
Bangkai busuk
Sekali waktu anak-anak yang itu terburu-buru berenang ke tepi kali dengan ketakutan. Bangkai seekor ikan sebesar bandeng presto terbawa arus menuju arah Teluknaga. Bangkai itu sudah busuk dan dikerubungi lalat.
Setelah lewat, mereka kembali ke tengah dan bermain, menggunakan sampah-sampah yang mereka temukan di tepian seperti gabus, kantong plastik, dan buah-buahan.
”Saya pernah gatal-gatal satu kali habis main di kali. Waktu itu saya mikir, ’Ah kagak lagi dah main di kali’. Tetapi sekarang main lagi kemari,” kata Andi.
Ternyata kali itu juga menjelma simpul interaksi antarwarga dewasa. Ketika anak-anak sedang bermain, Mel (49), warga Kampung Rawa Rotan RT 006 RW 001 Selapajang Jaya yang terletak di seberang Jalan Marsekal Suryadarma, mencuci tumpukan baju di tepi kali dekat jalan. Sarni (42), warga RT 002 RW 002, menyusul sekitar 15 menit setelahnya.
Keduanya membawa ember besar, sabun colek, sikat, dan papan kayu bergelombang untuk mengucek baju. Setelah menyikat dan mengucek dengan sabun colek, baju itu dicelupkan ke air kali, kemudian diperas.
”Setengah enam pagi biasanya ibu-ibu pada mencuci baju bareng-bareng. Rame. Kalau saya cuci baju, anak saya sering ikut ke sini buat berenang,” kata Sarni sambil menunjuk anak-anak SD yang bermain-main di belakangnya.
Walau tak tahu persis nama kali itu, sejak kecil Mel dan Sarni, yang sama-sama kelahiran Kampung Rawa Rotan, selalu ke kali itu untuk mandi, bermain, dan berenang. Orangtuanya juga sering mengajaknya ke kali untuk mencuci baju.
Mencuci baju dan bermain di kali sudah menjadi budaya warga setempat. Namun, kedua ibu yang merangkap pedagang itu menyaksikan dunia berubah. Dahulu, Jalan Marsekal Suryadarma di tepi kali adalah perkampungan warga.
Tidak diketahi pasti kapan kampung itu digusur dan kemudian berubah menjadi jalan raya. Di tepi lainnya, area yang kini telah dipasangi pagar dan menjadi area Bandara Internasional Soekarno-Hatta itu sedianya juga kampung kota.
Seiring pembangunan kota, warga pun semakin jauh dari kali, sementara kali bertambah kotor. Seorang penumpang angkot yang turun di tepi kali siang itu tanpa rasa bersalah melempar kantong sampah merah ke air. Pun begitu, Mel, Sarni, dan ibu lainnya tak mengubah kebiasaan yang telah dipupuk bertahun-tahun.
”Beberapa tetangga yang enggak asli sini nanya, kenapa kok cuci baju di kali. Apa enggak takut gatel-gatel? Lah, saya dari kecil udah kayak gini. Buktinya, enggak pernah gatel-gatel. Padahal, saya selalu mencuci di sini,” kata Mel.
Mel juga merasa tidak nyaman mencuci baju di rumahnya. Sebab, kamar mandi di rumahnya kecil, sedangkan saluran pembuangannya tidak memadai untuk menampung volume air cucian. Selain itu, persediaan air tanah di kampungnya mulai menyusut seiring bertambahnya penduduk Kampung Rawa Rotan.
”Sebenarnya air sumur lebih jernih daripada di kali. Tetapi sekarang di kampung banyak kontrakan, banyak pendatang dari (daerah berbahasa) Jawa. Sumur warga banyak yang kering. Saya enggak pernah kekeringan, tetapi mendingan airnya dihemat,” kata Mel.
Sementara itu, Sarni belum punya sumur sendiri. Air di rumahnya bersumber dari rumah saudaranya. Karena merasa tidak enak, ia lebih memilih mencuci di kali.
Untuk mengatasi permasalahan air bersih, beberapa warga sudah mendaftar untuk mengakses air PDAM (perusahaan daerah air minum) di kantor kelurahan. Namun, realisasinya belum ada.
”Selang-selangnya sudah ada, tetapi belum ada kabar. Kalau nanti PDAM sudah ada, saya mau cuci di rumah saja,” kata Sarni.
Bukan budaya buruk
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja mengatakan, keadaan kali di perkotaan, termasuk Kali Perancis dan anak sungainya di Tangerang, tidak cocok digunakan untuk bermain dan mandi karena kebersihannya yang memprihatinkan. Ini merupakan buah dari kelalaian masyarakat dan pemerintah dalam menjaga kebersihan kali. Bermain dan mandi di kali bukanlah budaya buruk.
”Kebiasaan itu oke-oke saja, tetapi lingkungannya tidak mendukung karena manusia abai dengan kali. Tetapi mau warga terbiasa main dan mandi di kali atau tidak, kali yang kotor tetap harus dibersihkan dari pencemaran, kan?” katanya.
Elisa menambahkan, mencuci baju di kali adalah sebuah upaya untuk menyiasati keterbatasan air bersih di permukiman kampung kota. Pemerintah pun perlu memikirkan cara untuk memberikan alternatif tempat mencuci, termasuk menjaga kali agar tak tercemar detergen.
”Bisa dibuatkan MCK (mandi, cuci, kakus) di sekitar kali kalau memang kedekatan warga dengan kali sangat besar. Cuma harus dipikirkan treatment (pengelolaan) limbahnya,” kata Elisa.
Wajah anak Kali Perancis di Selapajang Jaya memang telah berubah seiring pembangunan. Namun, romantisisme warga dengan kali tak akan hilang begitu saja. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)