Manfaatkan Bonus Demografi, Sosialisasi Pemenuhan Gizi Anak Perlu Diintensifkan
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tiga faktor utama yang determinan terhadap masalah gizi di Indonesia adalah akses terhadap makanan, pola asuh orang tua, dan sanitasi. Hal ini belum merata dipahami dan diterapkan keluarga. Butuh kerja sama seluruh pihak untuk mewujudkan masyarakat yang mandiri hidup sehat.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, status gizi balita membaik tetapi obesitas dewasa naik. Angka anak balita gemuk menurun dari 11,9 persen pada 2013 menjadi 8 persen pada 2018, meski belum menyentuh batas masalah kesehatan WHO soal bayi gemuk, yakni 5 persen.
Perbaikan juga terjadi pada angka stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronik. Angka anak balita stunting turun dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 persen pada 2018. Capaian itu juga belum menjangkau batas masalah kesehatan WHO, yakni 20 persen.
Sementara, proporsi obesitas sentral pada orang berusia di atas 15 tahun naik dari 26,6 persen pada 2013 menjadi 31 persen pada 2018.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Doddy Izwardy dalam diskusi "Menuju Zero Gizi Buruk dan Stunting 2045" di Jakarta, Selasa (29/1/2019), mengatakan, perlu ada intervensi terhadap masalah gizi agar Indonesia mampu memanfaatkan bonus demografi tahun 2035.
"Karena permasalahan gizi bisa berdampak pada tingkat kecerdasan dan produktifitas seseorang," kata Doddy.
Ia mengatakan, akses terhadap makanan perlu ditingkatkan dalam hal jumlah dan kualitas gizi. Doddy menyebutkan, tujuh dari sepuluh ibu hamil di Indonesia makan makanan yang kurang kalori dan protein pada 2016-2017. Hal tersebut bisa berdampak pada kondisi anak yang dikandung.
Hal itu diperparah dengan pola asuh yang kurang baik dari orang tua. Akibatnya, tujuh dari sepuluh balita di Indonesia makan kurang kalori. Selain itu, lima dari sepuluh anak di Indonesia makan makanan kurang protein.
Menurut Doddy, berbagai kementerian dan lembaga perlu juga memperhatikan terkait ketersediaan pangan berkualitas agar masyarakat bisa menjangkau dan mendapatkannya dengan mudah di berbagai daerah. Upaya lintas sektor itu sudah tertuang dalam gerakan masyarakat hidup sehat (Germas). Gerakan itu perlu terus digencarkan seluruh pihak agar penurunan angka balita stunting dan balita gemuk semakin menurun.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat terhadap pola asuh juga perlu ditingkatkan."Pengetahuan orang tua mengenai jenis makanan yang diberikan dengan jumlah yang tepat juga perlu terus digencarkan," ujar Doddy.
Doddy menambahkan, persoalan gizi juga dipengaruhi oleh layanan kesehatan, termasuk akses air bersih dan sanitasi. Air bersih diperlukan untuk mencukupi kebutuhan cairan di dalam tubuh. Jika sanitasi buruk, lingkungan tempat tinggal bisa tidak sehat dan bisa menimbulkan penyakit.
Pengetahuan orang tua mengenai jenis makanan yang diberikan dengan jumlah yang tepat perlu terus digencarkan
Ketua Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) Arif Hidayat yang juga menjadi pembicara mengatakan, program pemerintah belum sepenuhnya sampai di masyarakat. Masih banyak keluarga yang belum mengerti kandungan makanan yang diberikan kepada anak.
Ia mengatakan, Kopmas masih menemukan orang tua yang tidak memberi ASI eksklusif kepada anaknya. Bahkan, ada anak yang sejak usia empat bulan sudah diberikan susu kental manis (SKM).
"Persoalannya beragam. Misal, ada anak yang ditinggal ibunya menjadi tenaga kerja wanita. Ditambah lagi harga SKM yang murah, jadi orang tua mengganti ASI dengan SKM," ujar Arif.
Terkait peredaran susu, Direktur Registrasi Pangan Olahan Badan Pengawas Olahan dan Makanan (BPOM) Anisyah mengatakan, BPOM sudah mengeluarkan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Pada Label produk susu harus dicantumkan peringatan berupa tulisan bahwa produk susu tidak untuk menggantikan ASI dan tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan.
Produk susu yang dimaksud mencakup susu bubuk, susu Ultra High Temperature (UHT), susu pasteurisasi, dan susu steril. Anisyah mengatakan, masih ada produsen yang belum mengetahui peraturan tersebut sehingga belum mencantumkan label di produk susu yang diedarkan.
"Dalam waktu dekat, produsen akan kami kumpulkan agar produk susu mereka menyesuaikan peraturan yang ada," kata Anisyah.