Korban Penipuan First Travel Bakal Ajukan Gugatan Praperadilan
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian korban penipuan biro travel First Travel berencana mendaftarkan gugatan praperadilan terkait penyitaan aset biro umrah itu. Tergugat dalam praperadilan tersebut adalah Kapolri dan Jaksa Agung.
”Gugatan ini akan membuktikan bahwa aset yang disita kejaksaan tidak memiliki bukti penyitaan. Coba ditanya ke Jaksa Agung di mana bukti penyitaannya,” ujar pengacara jemaah, Riesqi Rahmadiansyah, Senin (28/1/2019). Saat ini, Riesqi menjadi kuasa hukum untuk lebih dari 10.000 korban penipuan First Travel. Menurut rencana, praperadilan akan didaftarkan pada 1 Februari 2019.
Gugatan ini akan membuktikan bahwa aset yang disita kejaksaan tidak memiliki bukti penyitaan.
Riesqi menambahkan, aset First Travel yang dirampas untuk negara tidak disita oleh Kementerian Agama untuk dibagikan kepada para korban penipuan. Namun, aset tersebut akan masuk ke kas negara sehingga merugikan para korban yang sudah membayar lunas dana umrah.
Langkah untuk mendaftarkan gugatan praperadilan ini merupakan upaya para korban untuk bisa diberangkatkan umrah.
Kemarin, beberapa perwakilan calon jemaah korban penipuan itu mendatangi Inspektorat Kementerian Agama di Jakarta Selatan. Mereka mempersoalkan terbitnya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 589 Tahun 2017 tentang Pencabutan Lisensi Biro Umrah. Mereka menilai terbitnya peraturan itu membuat First Travel tidak bisa memberangkatkan ribuan calon jemaah.
Riesqi mengatakan, kehadiran perwakilan calon jemaah ke Inspektorat Kemenag adalah untuk meminta lembaga tersebut mencari siapa orang yang paling bertanggung jawab atas keluarnya PMA Nomor 589/2017.
Riesqi berasumsi pihak yang berada di balik terbitnya PMA adalah orang yang memiliki biro travel umrah dan menghindari persaingan usaha. Sebab, menurut dia, ribuan jemaah umrah yang memesan jasa di First Travel tidak jadi berangkat karena uangnya tidak ada.
Uang justru dipakai pemilik First Travel untuk membeli aset, mengadakan peragaan busana di luar negeri, dan berfoya-foya. Penyebab kedua adalah karena setelah PMA No 289/2017 terbit pada Agustus 2017, First Travel tak lagi bisa memberangkatkan jemaah. First Travel diblokir oleh beberapa vendor karena tidak punya lisensi dari Kemenag. Sementara itu, pemilik First Travel, Andika, mengatakan bahwa seharusnya pada November 2017 ia akan memberangkatkan 5.000-7.000 anggota jemaah.
”Menteri Agama tidak melihat perjanjian tripartit antara Otoritas Jasa Keuangan, First Travel, dan Kemenag. Sebab, di perjanjian itu First Travel akan memberangkatkan 5.000-7.000 anggota jemaah per bulan mulai November 2017. Tetapi karena lisensi dicabut, mereka tidak bisa memberangkatkan jemaah untuk umrah,” ujar Riesqi.
Riesqi menuturkan, kejanggalan lain adalah pemilik First Travel ditangkap pada Agustus 2017 dan asetnya langsung disita oleh negara. Padahal, harta tersebut sudah digadaikan untuk memberangkatkan jemaah pada November. Namun, karena persoalan lisensi dicabut itu, pemilik First Travel tak bisa berbuat banyak. Mereka sudah diblokir oleh vendor penyedia jasa umrah.
”Temuan-temuan ini akan kami tindak lanjuti. Kami yakin temuan ini akan menjadi bekal untuk merebut kembali aset First Travel yang dalam putusan Pengadilan Negeri Depok dirampas untuk negara,” kata Riesqi.
Riesqi berpendapat dalam tindak pidana pencucian uang, uang harus kembali kepada pihak yang dirugikan. Ia mempertanyakan mengapa dalam putusan di pengadilan negeri justru aset bernilai besar dirampas oleh negara. Saat ini, menurut informasi yang ia dapatkan, aset sisa uang tunai milik First Travel masih senilai Rp 89 miliar.
Para perwakilan korban itu sempat diterima dalam audiensi di Inspektorat Kementerian Agama. Namun, mereka tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Sekretaris Jenderal Inspektorat Kemenag Muhammad Tambrin mengatakan, PMA yang dikeluarkan oleh Kemenag adalah produk hukum yang sah karena sudah melalui konsultasi di biro hukum. Ia tidak bisa mempersoalkan peraturan tersebut. Apalagi, fungsi Inspektorat Jenderal selama ini adalah melakukan pengawasan internal di Kemenag. Mereka hanya mengawasi aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kementerian Agama. Mereka tidak mengawasi pihak-pihak eksternal, seperti orang dan biro perjalanan.
”Mohon maaf, kami tidak bisa menindaklanjuti domain wilayah lain. Ini yang hadir kami terima sebagai tamu, hasil audiensi akan kami catat dan serahkan ke Kemenag sesuai tugas pokok dan fungsinya,” kata Tambrin.
Karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Inspektorat Kemenag itulah para korban berencana mengajukan gugatan praperadilan.
Sebelumnya, Perkumpulan Pengurus Pengelolaan Aset Korban First Travel (PPPAKFT) mempersoalkan sejumlah aset yang disita tetapi tidak dilimpahkan ke mereka. Sejumlah aset itu di antaranya rumah di Sentul City, kantor PT Anugerah Karya Wisata di Jalan Radar AURI; apartemen Bellone Park Fatmawati; rumah di Jalan RTM Kelapa Dua, Depok; beberapa mobil mewah; dan aset lain. Total jumlah korban penipuan First Travel sebanyak 63.310 orang dengan nilai uang disetor lunas lebih dari Rp 900 miliar. Adapun nilai aset milik First Travel yang telah disita kurang dari Rp 100 miliar.