JAKARTA, KOMPAS — Kinerja perusahaan manajer investasi PT Bahana TCW Investment Management melambat selama 2018. Total dana kelolaan turun 0,56 persen pada 2018.
Pelambatan itu terjadi karena ada pengalihan aset dari reksa dana berpotensi risiko tinggi ke reksa dana berpotensi risiko rendah. Pengalihan aset itu dilatarbelakangi fluktuasi pasar dan perketatan likuiditas.
PT Bahana TCW mencatat, jumlah dana aset manajemen yang dikelola turun menjadi Rp 47,97 triliun pada 2018. Pada 2017, dana aset manajemen sempat mencapai Rp 48,24 triliun.
Presiden Direktur PT Bahana TCW Investment Management (BTIM), Edward Lubis dalam temu media ”Surfing the Market Pendulum” di Jakarta, Selasa (29/1/2019), mengatakan, fluktuasi kondisi pasar keuangan membuat investor mengalihkan aset. Aset dialihkan dari reksa dana pendapatan tetap dan saham ke reksa dana terproteksi dan pasar uang.
Penurunan terjadi kendati perusahaan telah meluncurkan 28 produk reksa dana baru. ”Oleh karena itu, kami terus menghadirkan produk baru untuk memenuhi kebutuhan investor,” kata Edward.
Kendati terjadi penurunan jumlah dana kelolaan, investor ritel baru tumbuh 17,72 persen dari 3.871 nasabah pada 2017 menjadi 4.557 nasabah pada 2018. Secara keseluruhan, investor ritel tumbuh hingga 87,21 persen dari 15.609 nasabah pada 2017 menjadi 29.223 nasabah pada 2018.
Berebut dana
Menurut Edward, Bahana akan fokus menambah partner distributor untuk memberikan akses bagi calon investor ritel. Selain itu, perusahaan akan meningkatkan interaksi dengan pelanggan melalui platform daring, BahanaLink.
Selain itu, strategi lain yang akan diterapkan untuk meningkatkan jumlah dana aset pada 2019 adalah dengan fokus pada reksa dana pasar uang. Reksa dana pasar uang adalah reksa dana yang berinvestasi di instrumen pasar uang, seperti deposito dan obligasi.
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonom BTIM Budi Hikmat menyampaikan, fokus pemilihan pada produk reksa dana pasar uang karena masalah likuiditas akan menjadi tantangan pada 2019.
”Investor memiliki keinginan mendapatkan imbal hasil yang tinggi. Pada saat yang bersamaan, perbankan dan pemerintah bersaing untuk merebut dana masyarakat. Kami antisipasi akan ada peningkatan bunga suku deposito,” kata Budi.
Investor memiliki keinginan mendapatkan imbal hasil yang tinggi. Pada saat yang bersamaan, perbankan dan pemerintah bersaing merebut dana masyarakat.
Rentan gejolak
Edward menyampaikan, Bahana memproyeksikan kondisi perekonomian Indonesia masih rentan dengan gejolak. Target perolehan dana kelolaan pada 2019 diperkirakan hanya tumbuh 4-5 persen, yakni Rp 50 triliun.
”Target kami kurangi karena akan ada banyak peristiwa, seperti Pemilihan Umum Presiden 2019. Pemilu membuat ada sentimen wait and see dari para investor,” ucap Edward.
Budi melanjutkan, gejolak perekonomian global sedikit mereda pada tahun ini. Itu terlihat dari jumlah arus modal asing yang masuk ke Indonesia mulai meningkat.
Bank Indonesia mencatat, investasi asing portofolio yang masuk ke Indonesia mencapai Rp 19,2 triliun sejak awal tahun hingga 24 Januari 2019. Jumlah itu terdiri dari Rp 8,02 triliun melalui Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 12,07 triliun melalui pasar saham. Adapun dana lainnya masuk melalui obligasi korporasi.
”Kendati begitu, fundamental ekonomi masih belum aman karena penguatan pasar finansial masih ditopang modal asing dan penurunan harga minyak dunia, sedangkan indikator penguatan daya beli belum meyakinkan,” kata Budi.
Fundamental ekonomi masih belum aman karena penguatan pasar finansial masih ditopang modal asing dan penurunan harga minyak dunia, sedangkan indikator penguatan daya beli belum meyakinkan.
Pemerintah mesti memperbaiki struktur perdagangan internasional untuk memacu ekspor produk manufaktur dan barang. Perbaikan tersebut diperlukan guna memperkuat struktur perekonomian sembari memanfaatkan momentum pelambatan ekonomi di Amerika Serikat.