MEDAN, KOMPAS — Dewan Minyak Sawit Indonesia mendukung langkah pemerintah melakukan diplomasi dan promosi sawit di pasar internasional. Langkah itu dinilai tepat dalam menghadapi hambatan perdagangan sawit yang diterapkan di sejumlah negara. Diplomasi dan promosi juga harus diikuti perbaikan tata kelola yang berkelanjutan.
”Hambatan perdagangan terhadap minyak sawit mentah (CPO) harus dihadapi bersama-sana oleh pemerintah, pengusaha, petani, peneliti, dan pemangku kepentingan lainnya. Kita harus terus mereduksi hambatan dagang dan kampanye negatif sawit,” kata Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun kepada wartawan di Medan, Selasa, (29/1/2019).
Derom mengatakan, sawit merupakan komoditas andalan nasional. CPO dan produk turunannya merupakan kontributor utama terhadap ekspor nonmigas sehingga memberikan devisa yang cukup besar untuk negara. Ada 22 juta jiwa penduduk Indonesia yang hidup dalam lingkaran industri sawit nasional.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor CPO dan produk turunannya mencapai 20,02 miliar dollar AS pada 2013, lalu secara berturut- turut menjadi 22,15 miliar dollar (2014), 18,61 miliar dollar (2015), 18,11 miliar dollar (2016), dan 22,77 miliar dollar AS (2017).
Nilai total ekspor Indonesia pada 2017 adalah 168,73 miliar dollar AS dengan ekspor nonmigas 152,99 miliar dollar AS. Kontribusi CPO terhadap ekspor nonmigas sebesar 14,9 persen dan terhadap ekspor 13,5 persen (Kompas, 19/3/2018).
Derom mengatakan, langkah diplomasi pemerintah telah menunjukkan sejumlah hasil. Larangan Uni Eropa dalam penggunaan CPO sebagai campuran biodiesel ditunda dari 2021 menjadi 2030. Pemerintah Perancis juga menyatakan tidak memboikot minyak sawit dan turunannya.
Tata kelola
Sejumlah langkah diplomasi itu, kata Derom, harus diikuti dengan tata kelola sawit yang berkelanjutan. Para pemangku kepentingan, khususnya pengusaha dan petani, harus terus berupaya menerapkan tata kelola berkelanjutan dan mendapat sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dari Pemerintah Indonesia.
Salah satu kesulitan sertifikasi karena pemilik perkebunan adalah petani kecil dengan lahan 1-2 hektar. Dari 14,31 juta hektar luas lahan perkebunan sawit, 5,81 juta hektar atau 40,59 persennya merupakan kebun sawit rakyat. ”Padahal, biaya sertifikasi itu, kan, mahal. Untuk mengatasi ini, kami sudah meminta agar petani membentuk kelompok dan mengajukan sertifikasi secara berkelompok,” ujarnya.
Tidak hanya petani, perusahaan-perusahaan juga masih banyak yang belum mendapat sertifikasi berkelanjutan. Dari sekitar 1.600 perusahaan sawit di Indonesia, yang telah mendapat sertifikasi ISPO masih di kurang dari 400 perusahaan. Menurut Derom, kendala ini antara lain karena banyak perusahaan yang tidak tergabung dalam asosiasi pengusaha.
Luas perkebunan yang sudah mendapat sertifikasi ISPO per Oktober 2018 baru 2,23 juta hektar. Sekitar 12 juta hektar belum mendapat sertifikasi berkelanjutan.
Penerapan standar berkelanjutan ini, kata Derom, dapat meningkatkan daya saing sawit Indonesia di pasar internasional. Beberapa standar berkelanjutan ISPO antara lain perusahaan dilarang membuka lahan dengan cara membakar, perusahaan tidak boleh menanam sawit di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, serta kebun dan pabrik harus didirikan di wilayah yang sesuai dengan peruntukannya.
Derom mengatakan, tantangan sawit ke depan akan semakin besar. Hambatan perdagangan dan kampanye hitam masih akan terus dihadapi. Dengan tata kelola yang baik, diplomasi, dan promosi, Industri sawit Indonesia dapat terus tumbuh.
Harga membaik
Saat ini tandan buah segar di tingkat petani sudah naik dari Rp 600 menjadi Rp 800 per kilogram. Menurut Derom, kenaikan harga tidak hanya dipengaruhi penghapusan pungutan ekspor, tetapi lebih dipengaruhi harga CPO di pasar dunia yang sudah naik dari 450 dollar AS menjadi 540 dollar AS per ton.
Martiani Sebayang (27), petani sawit di Desa Rumah Sumbul, Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu, Kabupaten Deli Serdang, mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi petani adalah harga yang naik-turun. Selama September hingga Oktober 2018, mereka menjual TBS Rp 600 per kg. Kini, sudah beranjak naik hingga Rp 800 per kg. Mereka pun berharap harga bisa naik hingga Rp 1.200 per kg.
Martiani mengatakan, petani belum memikirkan untuk melakukan tata kelola sawit berkelanjutan. ”Yang penting bagaimana kami bisa bertahan, terutama saat harga anjlok,” ujarnya.