Panen Garam di Cirebon Meningkat, tetapi Kualitas Masih Rendah
Produksi garam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada 2018 meningkat hingga lebih dari 100.000 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, kualitas garam rakyat tersebut masih rendah.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Produksi garam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pada 2018 meningkat hingga lebih dari 100.000 ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, kualitas garam rakyat tersebut masih rendah.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon, produksi garam tahun lalu mencapai 483.000 ton. Jumlah ini melonjak dibandingkan dengan tahun 2017, yakni 350.000 ton. Bahkan, jumlah itu melebihi produksi tahun 2015 ketika kemarau panjang, yakni 440.503 ton.
”Tahun lalu, petani bisa panen raya hingga empat bulan. Cuacanya terik, bagus. Padahal, tahun sebelumnya hanya dua bulan masa panen raya,” ujar Jafar (40), petani asal Kecamatan Losari, Senin (28/1/2019). Dalam semusim berproduksi, sekitar 6 bulan, ia mampu meraup 160 ton dari lahan 3 hektar.
Selain cuaca, peningkatan produksi juga dipengaruhi bertambahnya animo petani membuat garam. Harga komoditas tersebut cenderung stabil, sekitar Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per kilogram (kg). Ini berbeda dengan harga garam pada 2016 yang anjlok di bawah Rp 400 per kg.
Akan tetapi, kualitas garam yang dihasilkan petani masih rendah, yakni kualitas III dan kualitas II. Itu tampak pada warna garam yang kecoklatan, tidak putih. Kadar NaCl untuk garam kategori tersebut juga di bawah 90 persen. akibatnya, harganya pun rendah.
”Untuk garam kualitas III di tingkat petani, saya dapat Rp 750 per kg. Sementara kualitas II, harganya Rp 820 per kg. Itu harga bersih, setelah dikurangi ongkos angkut dan karung. Kalau kualitas I, harganya bisa dua sampai tiga kali lipat,” ujarnya.
Kualitas garam di Cirebon rendah karena masih mengandalkan teknik pengolahan lahan konvensional.
Jafar mengakui, kualitas garam di Cirebon rendah karena masih mengandalkan teknik pengolahan lahan konvensional. Lahan garam di Cirebon umumnya belum tersentuh teknologi. Lahan garam masih berupa tanah, tanpa terpal. Akibatnya, garam bercampur lumpur. Petani juga masih mengandalkan sinar matahari untuk membuat garam.
”Kalau pakai terpal atau geomembran, untuk lahan 0,7 hektar saja butuh dana Rp 5,2 juta. Padahal, modal saya untuk lahan seluas itu sudah Rp 6 juta. Jadi, lebih baik pakai cara tradisional saja untuk buat garam,” ujarnya.
Kepala Bidang Pemberdayaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon Yanto mengakui, kualitas garam di Cirebon masih rendah. ”Dari total produksi 483.000 ton tahun lalu, hanya 20 persen yang memenuhi kualitas I dengan kadar NaCl di atas 94 persen,” ujarnya.
Menurut Yanto, selain teknologi seperti penggunaan geomembran, penyebab rendahnya kualitas garam petani ialah masa panen yang dipercepat. ”Seharusnya, panen garam minimal seminggu supaya hasilnya bagus. Namun, banyak petani sudah panen tiga atau empat hari. Alasannya, ingin mendapatkan uang segera. Selain itu, sebagian besar petani hanya menyewa lahan sehingga takut masa panen berakhir,” tuturnya.
Menurut dia, pihaknya telah beberapa kali menyosialisasikan teknik pengolahan garam yang baik kepada petani. Pihaknya juga menjalin kerja sama dengan PT Garam untuk mendampingi petani dalam pembuatan garam. Namun, pihaknya memiliki keterbatasan anggaran untuk menyediakan sarana dan prasarana, seperti terpal.
Syaikhu (50), petani garam, mengatakan, pemerintah harus memberikan contoh kepada petani teknik pengolahan yang dapat menghasilkan garam dengan kualitas bagus. Ia, misalnya, mulai mencoba teknik pengolahan garam menggunakan rumah prisma. Dengan cara begitu, meja garam dilapisi geomembran sehingga tidak bercampur tanah. Sementara sekelilingnya dilapisi plastik sehingga suhunya terjaga. Bahkan, produksi tetap berjalan meski musim hujan.
”Metode ini ditargetkan dapat menghasilkan garam hingga 1,2 kilogram per hari dengan rumah prisma ukuran 11 meter x 22 meter. Kadar NaCl juga mencapai 97 persen. Ini bisa dimanfaatkan industri sehingga kuota impor garam bisa dikurangi,” ujar Syaikhu, yang membangun 47 rumah garam prisma.