“Saya suka mendengar kritik. Saya merasa terbuka untuk dikritik, Tanpa kritik, mana bisa kita maju,” kata Bang Ali, dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH.
"Mohon teman-teman wartawan membantulah. Bapak Gubernur kan masih baru, jadi masih hemat bicara,” kata seorang pejabat saat bertemu Kompas, sekitar akhir tahun 1992. Saat itu Soerjadi Soedirdja baru beberapa bulan dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Wiyogo Atmodarminto.
Berlatar belakang militer yang terkesan kaku dan formal, mantan Pangdam Jaya dan Asisten Sospol ABRI itu berbeda dengan gaya gubernur sebelumnya--yang juga tentara--Wiyogo. Suryadi cenderung kalem, tidak banyak bicara. Wartawan bidang perkotaan cukup sulit mewancarainya. Kalaupun menjawab, kalimatnya pendek-pendek.
Pejabat yang meminta tolong di atas, merasa Pemda DKI tetap membutuhkan media atau pers untuk pemberitaan, mendapat masukan dari masyarakat maupun kontrol pemerintahan. Namun dia menyadari gaya gubernur barunya masih butuh penyesuaian. Belakangan, Soerjadi mulai cair.
Wartawan yang biasa meliput perkotaan dan Balai Kota DKI sebelumnya lebih leluasa mewawancarai Bang Wi alias Wiyogo Atmodarminto yang terkenal dengan slogan BMW (Bersih, Manusiawi dan Berwibawa) itu. Secara kebetulan pula, Bang Wi setiap akhir pekan menggunakan motor gede (moge) BMW-nya mendatangi kelurahan-kelurahan.
Selain melakukan cegat pintu alias door stop, wartawan bisa mencegat Bang Wi di mana saja. Secara rutin pula sepekan sekali dia mengadakan semacam coffee morning saat pejabat-pejabat DKI hadir dan siap menjawab pertanyaan apa saja. Tapi pernah juga pejabat Dinas Perhubungan DKI, kabur –beneran ngibrit—saat ditanya wartawan terkait angkutan umum yang saat itu (hingga sekarang) masih semrawut.
Soal keterbukaan terhadap media, mendengar kritik dan masukan dari masyarakat orang pasti akan selalu mengingat Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta yang legendaris. Di balik sikapnya yang tegas dan mengundang kontroversi, saat mulai membangun Ibu Kota ternyata sikap Bang Ali menyimpan maksud.
Dia sengaja melempar sebuah masalah untuk “diramaikan” dan mengundang kontroversi atau diskusi maupun kritik masyarakat melalui media. Dari situ, dia akan membaca banyak masukan dan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan setiap kebijakan yang akan dikeluarkannya.
“Saya suka mendengar kritik. Saya merasa terbuka untuk dikritik, Tanpa kritik, mana bisa kita maju,” kata Bang Ali, dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH.
Baik Bang Ali maupun Bang Wi secara rutin mengajak bicara wartawan maupun editor berbagai media. Biasanya dalam pertemuan itu dibicarakan sejumlah rencana pembangunan dan berbagai hal lain termasuk yang “off the record”. Diharapkan media mendapat latar belakang setiap persoalan yang muncul. Namun demikian kontrol media berjalan baik.
Kini, Gubernur Anies Baswedan pun menyatakan, pihaknya membutuhkan media untuk menyalurkan informasi program-program pemerintah kepada masyarakat. Keterbukaan dan kritik membangun memang vitamin setiap kebijakan, budaya yang layak dipertahankan. Betul, kan, Pak Gubernur?