Membaca, Mengenal Kehidupan
Jejak terjangan lahar hujan Merapi pada 2010 masih tersisa di Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah. Dulu, lahar menyapu Taman Belajar Masyarakat, termasuk seribuan buku. Setelah delapan tahun berlalu, mereka Merapi(kan) Sirahan, sebuah gerakan budaya merapikan kehidupan.
Pelataran seluas 4.500 meter persegi itu tampak gilar-gilar, lapang, teduh, hijau oleh pepohonan. Itulah Taman Belajar Masyarakat di Desa Sirahan.
Bagian dari taman tersebut ada yang disebut Kebon Pasinaon, yang idenya dipungut dari bahasa Inggris, yakni garden of learning. Disebut demikian karena dari pekarangan itu orang bisa belajar apa saja. Mulai dari membaca buku di perpustakaan sampai belajar tentang lingkungan hidup.
Dulu, taman itu dilanda lahar hujan Merapi yang meluber dari Kali Putih dan menerjang desa-desa. Sekitar 60 pohon besar di taman itu tumbang. Batu-batu besar dan pasir ribuan meter kubik berserakan di halaman dan jalan-jalan desa, menutup akses menuju desa.
Ida Fitri, perintis dan penggiat Taman Belajar Masyarakat, mengingat-ingat peristiwa delapan tahun silam itu. Lahar hujan Merapi membeludak dari Kali Putih, berbelok arah dan melabrak apa saja sepanjang 500 meter di Sirahan.
Lahar kemudian berbelok lagi masuk ke Kali Putih dan membekaskan jurang sedalam sekitar 7 meter. ”Sempat hancur-hancuran. Tidak ada pembaca yang datang karena akses jalan tertutup,” kata Fitri.
Sempat hancur-hancuran. Tidak ada pembaca yang datang karena akses jalan tertutup.
Pelan-pelan kondisi pulih. Setahun kemudian, jalan-jalan desa sudah normal dilintasi. Pada 2014, pohon-pohon bertumbuhan menghijau di halaman Taman Belajar Masyarakat (TBM). Akan tetapi, jumlah pengunjung ke taman belajar tidak bertambah secara signifikan meski kegiatan terus menggeliat.
Pada 12-13 Januari lalu, Fitri dan kawan-kawan menggelar perhelatan acara Sewindu Merapi: Merapi(kan) Sirahan. Mereka tidak meratapi bencana ataupun menyalahkan alam.
Peringatan sewindu erupsi tersebut dijadikan momentum untuk merapikan aktivitas budaya di Desa Sirahan, termasuk selamatan dan syukuran. ”Selama tujuh tahun ini kami seadanya. Sekarang kami baru mau bangkit,” ujar Fitri.
Setelah erupsi itu, TBM membuat program Lingkaran yang merupakan singkatan dari Lingkungan Ramah Anak. Program tersebut merupakan semacam trauma healing atau pemulihan dari trauma setelah bencana alam bagi anak-anak yang menjadi korban bencana.
Lingkaran kemudian terus berkembang menjadi tempat pembelajaran, Kebon Pasinaon. Peringatan delapan tahun bertujuan untuk menggairahkan anak-anak dan siapa pun untuk kembali membaca, belajar apa saja dari buku atau lingkungan sekitar.
Membaca, mengalami
Untuk perhelatan tersebut, mereka memilih tema lingkungan hidup. Siang itu, ibu-ibu pengurus bank sampah, yang sebagian juga merupakan guru pendidikan anak usia dini (PAUD) mengikuti pelatihan pemanfaatkan sampah.
Dalam program itu, mereka bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Magelang. ”Sekarang hal yang paling krusial adalah sampah rumah tangga, terutama plastik, yang mengganggu petani,” kata Sri Murni Riyanti Hediyanti, Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Kabupaten Magelang.
Di sudut halaman lain, sejumlah kaum muda mengikuti lokakarya sinematografi. Sementara di ruang perpustakaan, diskusi dan sambung rasa (sharing) tentang seni digelar.
Ada pula pentas teater, musik, dan lainnya. Momentum sewindu Merapi juga digunakan untuk sosialisasi Kebon Pasinaon yang sebenarnya sudah berjalan sejak beberapa waktu lalu.
Di Kebon Pasinaon, anak-anak dari PAUD dapat belajar secara langsung dari lingkungan sekitar. Contohnya, mereka diajari untuk mengenali pohon leci.
”Tidak semua anak mengenal pohon leci. Anak-anak tahu sirup leci. Di sini setidaknya mereka tahu bahwa leci itu berbeda dengan lengkeng. Sambil melihat pohon leci, kita ajak mereka untuk minum sirup leci,” kata Fitri.
Melalui Kebon Pasinaon, Fitri yang dibantu guru-guru PAUD ingin mendekatkan anak-anak kepada alam. Mereka diajak membaca, melihat, mengenal, mengalami dengan menyentuh, merasakan, apa itu singkong, pohon pisang, kayu putih, dan lainnya.
Mereka juga diperkenalkan dengan pohon kayu putih. Selama ini, anak-anak itu kebanyakan hanya mengenal tanaman tersebut dari botol minyak kayu putih.
Setiap kelompok yang datang diberi pilihan tema. Contohnya, tema singkong, cincau, atau tema lain. Anak-anak diajak untuk belajar menanam sampai mencabut singkong. Mereka juga diajak mengupas sampai memasak singkong, atau membuat makanan slondok. Selain itu, anak-anak tersebut diajari mengenal pohon camcau atau cincau, alias jelly leaf (Cyclea barbata Miers).
Pembelajaran motorik
”Mereka kami ajak meremas-remas daun cincau. Setelah itu, kami suguhkan dawet cincau. Ini untuk pembelajaran motorik kasar mereka,” kata Ari Ermawati, guru PAUD yang juga Ketua pelaksana Kebon Pasinaon.
Nantinya, di setiap sudut taman belajar itu akan dijadikan ruang pembelajaran. Misalnya Kebon Maos (ruang baca), Kebon Pawon (kelas memasak), Kebon Empon-empon (kelas herbal), dan lainnya.
Sebuah upaya terintegrasi yang saling mendukung. Kegiatan membaca menjadi awal, sekaligus tujuan aktivitas Taman Belajar Masyarakat ini. Fitri sejak kecil tumbuh dengan kebiasaan membaca, akrab dengan buku. Sebuah kebiasaan yang dikhawatirkan tergerus di era digital. ”Dengan membaca, jalan yang semula dikira buntu tiba-tiba mempunyai seribu pintu,” kata Ida.