Penyakit hipertensi masih menjadi masalah penting di Jakarta. Jumlah kasusnya cenderung naik, bahkan menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi Penyakit Tidak Menular. Gaya hidup masyarakat perkotaan seperti merokok, kurang aktivitas fisik, konsumsi minuman beralkohol, serta kurang konsumsi makanan berserat ditengarai menjadi pemicu.
Hipertensi menjadi tantangan besar dalam dunia kesehatan Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, prevalensi penyakit ini masih cukup tinggi (34 persen) dan lebih tinggi dari Riskesdas 2007 (31,7 persen) dan 2013 (25,8 persen)
Kondisi di Jakarta tak jauh berbeda dengan nasional yang cenderung naik. Catatan Riskesdas 2018, prevalensi penderita mencapai 33,4 persen, menduduki peringkat 10 dan berada dibawah angka nasional. Meski demikian angka tersebut tertinggi dibandingkan pencatatan 2013 yang mencapai 20 persen dan 2007 yakni 28,8 persen.
Itupun datanya seperti fenomena gunung es yang baru diketahui puncaknya. Menurut Ananda, Pengelola Program Penyakit Tidak Menular Dinkes DKI, dari total 10 juta penduduk Jakarta, yang baru bisa didatangi sekitar 1 juta. Itupun baru sekitar 10 persen yang diidentifikasi mengidap hipertensi.
Pengobatan
Rata-rata penderita hipertensi awalnya tidak sadar dengan penyakit yang dideritanya. Hal ini karena hipertensi bisa muncul tanpa gejala fisik dan baru diketahui setelah diukur tekanan darahnya. Meski demikian, gejala umum seperti rasa berat pada tengkuk, vertigo, jantung berdebar, telinga berdenging, mudah capek, serta mimisan bisa diwaspadai sebagai pertanda untuk melakukan pemeriksaan dokter selanjutnya.
Hal itulah yang membuat angka prevalensi penderita yang terdiagnosis dokter lebih rendah dibandingkan hasil pengukuran. Data Riskesdas 2018 menyebut, proporsi penderita berdasarkan wawancara terdiagnosis dokter hanya 10,5 persen. Itu artinya hanya satu dari 10 penderita yang tercatat memeriksakan diri setelah merasakan gejala-gejala umum.
Namun tidak semua penderita yang terdiagnosis memutuskan minum obat. Dari angka 10,5 persen yang terdiagnosis, hanya 10,2 persen yang memutuskan minum obat. Bisa jadi karena tidak semua gejala hipertensi harus minum obat. Akan tetapi, lebih banyak yang tidak minum obat karena gejala hipertensi tidak lagi muncul.
Di Jakarta pada 2018, hanya 38 persen penderita hipertensi yang tidak patuh minum obat. Proporsinya lebih banyak didominasi oleh perempuan (55,75 persen). Namun, tercatat juga proporsi perempuan yang patuh minum obat (61,44 persen) lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Bernadeta (53) memilih untuk menyiasati keharusan berobat teratur. Caranya dengan mengubah dosis hariannya menjadi setiap dua hari sekali. Selain itu juga berusaha menjalankan hidup sehat dengan berolahraga rutin dan makan makanan sehat.
Padahal menurut dr Martha Inatura Panggabean, sekali seseorang terkena hipertensi, berarti seumur hidup tidak lepas dari obat. Hanya saja, menurut Dokter Puskesmas Gelora tersebut, hal itu tergantung tingkat keparahan hipertensinya. Jika pada level 1 (tensi 140/90), cukup dengan pola makan, diet rendah garam dan mengurangi stress. Jika lebih dari itu, pengobatan tetap dilakukan dengan obat supaya tekanan darahnya stabil.
Gaya Hidup
Gaya hidup perkotaan dan pola makan yang buruk membuat penyakit darah tinggi ini berpotensi diderita oleh orang muda (mulai usia 18 tahun) dan resikonya makin meningkat di usia tua. Data Dinas Kesehatan DKI 2018 menyebutkan, penderita hipertensi tertinggi terjadi pada kelompok usia lansia (60 tahun ke atas) dengan proporsi perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.
Proporsi hipertensi lebih besar terjadi pada kelompok karyawan. Bisa jadi karena karyawan cenderung kurang melakukan aktivitas fisik karena bekerja di balik meja, serta mudahnya mengkonsumsi makanan cepat saji, kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol. Gaya hidup buruk ini diperparah dengan rasa stress karena kemacetan lalu lintas dan tingginya tekanan pekerjaan.
Upaya
Pemda DKI telah menangani hipertensi dengan upaya kuratif, promotif dan preventif. Upaya kuratif dengan memberikan layanan Poli Penyakit Tidak Menular di seluruh Puskesmas Kecamatan, klinik dan dokter praktik. Pada kasus yang tidak tertangani di faskes tingkat pertama, bisa dirujuk berjenjang ke rumah sakit dan sudah dibiayai oleh BPJS.
Selanjutnya upaya preventif berupa pengembangan dan perkuatan kegiatan deteksi dini hipertensi aktif melalui skrining faktor risiko dan pemeriksaan kesehatan.Hal tersebut dilakukan di Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) dan melalui Program Ketuk Pintu Layani dengan Hati yang door to door ke rumah-rumah warga.
Upaya promotif melalui kampanye pembatasan gula dan garam serta menggerakkan masyarakat agar aktif berolahraga. Kampanye tersebut banyak dilakukan melalui Germas (Gerakan Masyarakat Sehat) dan PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat).
Namun, segala upaya pemerintah tersebut tidak ada artinya jika masyarakat tidak mengubah gaya hidup. Gaya hidup sehat seperti banyak beraktifitas fisik, tidak merokok, mengurangi konsumsi makanan berlemak sangat diperlukan untuk mengurangi resiko terkena hipertensi.