Belajar Komunikasi dengan Anak Bersama Praktisi Sekolah Rumah
Pendidikan tidak berakhir di sekolah. Rumah merupakan tempat pendidikan utama dan keluarga sebagai pendidiknya. Sejak anak berusia dini, keluarga sudah menjadi pusat pendidikan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak merupakan kunci membentuk kurikulum yang mengembangkan kemampuan sekaligus minat dan bakat anak. Komunikasi menjadi kunci karena dibutuhkan keahlian orangtua mendengar pendapat anak.
Hal itu mengemuka dalam seminar pendidikan yang diselenggarakan pada Oase Festival 2019 di Jakarta, Sabtu (26/1/2019). Hadir sebagai pembicara para orangtua yang mempraktikkan sistem pendidikan sekolah rumah (homeschooling). Peserta acara ini dari kalangan umum.
Sekolah rumah merupakan kesepakatan antara orangtua dan anak untuk tidak memasukkan anak ke sekolah umum. Sebagai gantinya, mereka belajar di rumah. Orangtua bertindak sebagai guru. Bersama dengan anak, mereka merumuskan materi dan keterampilan yang dipelajari beserta prosedurnya. Sekolah rumah tidak mengundang guru les, namun orangtua bisa berjejaring dan mengajar anak dalam sebuah komunitas.
Sekolah rumah merupakan kesepakatan antara orangtua dan anak untuk tidak memasukkan anak ke sekolah umum. Sebagai gantinya, mereka belajar di rumah.
Pendiri Rumah Inspirasi sekaligus praktisi sekolah rumah, Aar Sumardiono, memberikan kuliah mengenai mengembangkan sistem pendidikan untuk anak usia dini. ”Sebenarnya, tujuan festival ini tidak semata-mata memperkenalkan berbagai metode sekolah rumah kepada publik, tetapi berbagi pengalaman tentang cara berkomunikasi dengan anak dan merancang pembelajaran yang cocok dengan anak. Terlepas anak bersekolah di rumah atau pun sekolah formal,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sistem pendidikan formal sudah memilihkan kurikulum dan cara penerapannya. Hal ini membuat orangtua sering kali lupa bahwa pendidikan tidak berakhir di sekolah, rumah merupakan tempat pendidikan utama dan keluarga sebagai pendidiknya. Sejak anak berusia dini, keluarga sudah menjadi pusat pendidikan.
Segala keputusan ada di tangan orangtua. Artinya, orangtua harus menerapkan sikap pembelajar dan mau menganalisa berbagai alternatif metode pendidikan sehingga bisa meramu bentuk yang cocok untuk tiap-tiap anak.
”Pada anak usia dini, tujuan pendidikan adalah mengenalkan anak kepada berbagai bentuk emosi dan cara mengelolanya. Pada usia dasar, yaitu 7 tahun hingga 12 tahun, kita sudah bisa memasukkan konten pembelajaran,” ujar Aar.
Ia menerangkan, dalam mendidik anak, terutama untuk sekolah rumah, tantangan terbesar adalah meredam ego orangtua memutuskan dan memaksakan segala hal kepada anak. Membangun komunikasi dan kepercayaan adalah pondasi dari pendidikan di keluarga.
Dalam mendidik anak, terutama untuk sekolah rumah, tantangan terbesar adalah meredam ego orangtua memutuskan dan memaksakan segala hal kepada anak.
Sejak anak berusia satu tahun, anak sudah bisa mengomunikasikan keinginannya meskipun belum pandai bertutur kata. ”Orangtua melatih diri untuk mengamati keinginan anak dan mendiskusikan pendapat anak. Cara ini yang mengajar anak untuk mengelola emosi apabila keinginannya tidak dituruti atau dituruti jika ia bersikap baik,” kata Aar.
Pengelolaan waktu
Dalam seminar itu terdapat sesi diskusi terkait pengalaman para praktisi sekolah rumah. Salah satunya adalah dari pasangan suami istri Rina Mayangsari dan Rian Ridha Ariantha. Mereka adalah orangtua yang berkarier dan memiliki sepasang putra kembar yang bersekolah di rumah. Hal ini mendobrak asumsi bahwa sekolah di rumah hanya bisa dilakukan apabila salah satu orangtua tidak bekerja.
”Kuncinya ada di pembagian waktu dan tugas. Orangtua bersama anak mendiskusikan target harian dan cara mencapainya,” tutur Rina.
Ia mencontohkan, di rumahnya, setiap hari anak-anak memiliki target pembelajaran yang dirancang bersama orangtua. Selain itu, mereka juga dijadwalkan melakukan pekerjaan rumah seperti bersih-bersih. Dalam hal ini, kerja sama dengan asisten rumah tangga sangat dibutuhkan agar terjadi pengawasan kegiatan anak.
Setiap hari anak-anak memiliki target pembelajaran yang dirancang bersama orangtua.
”Sepulang kerja, orangtua mengobrol dengan anak menanyakan hal-hal atau pun gagasan menarik yang mereka dapat pada hari itu. Tidak lupa memeriksa hasil pekerjaan anak dan memberi masukan sekaligus mendengarkan pendapat mereka tentang tugas itu sebelum mendiskusikan target pada hari berikutnya,” ujarnya.
Salah satu peserta acara, Delea Destindiah, mengatakan, seminar tersebut memberi wawasan baru terkait cara komunikasi antara orangtua dan anak. Anak sulungnya, Rio (8), kini duduk di bangku kelas II di sebuah SD di Jakarta Selatan. Sementara putri bungsunya, Raya (5), belum bersekolah.
”Para orangtua yang anaknya bersekolah di rumah mengembangkan metode pengamatan dan komunikasi yang bagi orangtua dengan anak di sekolah formal sering luput dari perhatian,” ujarnya.
Delea menuturkan, dirinya tidak berencana menyekolahkan anaknya di rumah karena dinilai tidak cocok dengan kebutuhan keluarga dan anak. Namun, wawasan baru mengenai bersama-sama anak merumuskan target dan capaian kompetensi hidup patut dipraktikkan.
Inisiatif anak
Oase Festival (OFEST) 2019 diadakan oleh anak-anak penggalang (usia 11-17 tahun) Komunitas Oase, sebuah jaringan keluarga-keluarga yang mempraktikkan sekolah rumah untuk anak-anak mereka. Ketua Jenderal Lapangan OFEST 2019 Zaki Mubarak (16) mengatakan bahwa kegiatan itu untuk menghimpun dana membangun bengkel kreativitas di Rumah Inspirasi.
”Konsepnya, di bengkel itu anak-anak bisa berkumpul dan berbagi keterampilan. Jadi bisa nongkrong sekaligus dapat ilmu,” katanya.
Sebanyak 36 anak penggalang menjadi panitia OFEST 2019. Mereka yang merancang konsep, waktu, lokasi, dan narasumber diskusi. Orangtua berperan sebagai pengawas dan penasihat yang memberi masukan apabila ada aspek yang dinilai belum maksimal. Adapun pengambilan keputusan tetap di tangan panitia melalui diskusi.