Mabuk Brexit
“In Vino Veritas, di dalam anggur terletak kebenaran.”
Brexit telah menjadi air kata-kata yang ampuh menggoda politisi Inggris sehingga mempertontonkan konflik yang kasar dan lebih terbuka dalam tiga tahun terakhir. Akibatnya, politik di Inggris menjadi lebih gaduh, konsensus semakin sulit dihasilkan karena semua ingin bersuara lantang.
Pertentangan pembuka dipertontonkan oleh para anggota kabinet dalam pemerintahan May. Tercatat 32 anggota kabinet May mengundurkan diri karena berbeda pendapat terutama pasca pemilu 2017. Pengunduran diri ini semakin membesar pasca May mengajukan proposal Brexit di kediamannya di Chequers, Juli 2018.
Terbaru, pada 22 Januari 2019, sejumlah 40 anggota kabinet May dikabarkan mengancam mengundurkan diri apabila Brexit akan terjadi tanpa kesepakatan.
Konflik terbuka juga ditampakkan di Parlemen. Ketidakpuasan tidak hanya disuarakan oleh partai oposisi, tetapi juga terjadi di dalam partai. Banyak anggota partai mengambil posisi berseberangan dengan kebijakan, terutama partai Konservatif di Parlemen. Di akhir tenggat Brexit, pertentangan keras juga disuarakan oleh para anggota Parlemen yang selama ini berada di pinggiran (backbencher).
Baca Juga:
Gaduh di Parlemen
Konflik May dengan Parlemen yang paling tajam terjadi saat hasil kesepakatan May dengan Uni Eropa terkait Brexit ditolak mentah-mentah.
Pada 15 Januari 2019, kesepakatan Brexit yang berhasil dicapai May dengan Uni Eropa ditolak Parlemen dengan angka yang telak. Sebanyak 432 anggota Parlemen menolak kesepakatan tersebut melawan 202 suara yang mendukungnya.
Padahal, anggota partai Konservatif pengusung May di Parlemen berjumlah 317 orang. Semata mengandalkan dukungan partai Konservatif di Parlemen, minimal akan ada 317 suara yang mendukung pencapaian May. Ditambah lagi 10 suara dari DUP sebagai pendukung pemerintah. Akan tetapi, tak semua anggota partai Konservatif maupun DUP kompak mendukungnya.
Tercatat 118 anggota Parlemen dari partai Konservatif menolak hasil kesepakatan yang dibawa oleh May. Selain itu, seluruh anggota Parlemen dari DUP, partai Irlandia Utara, juga menolak kesepakatan yang dibawa May.
Dengan posisi tersebut, pemerintahan May terlihat sangat mudah digoyang dengan mosi tidak percaya. Memanfaatkan situasi tersebut, partai Buruh segera mengajukan mosi tidak percaya kepada May. Partai Buruh berharap mosi tersebut akan mengantarkan kepada pemilu di Inggris.
Segera, Parlemen mengadakan pemilihan suara, menentukan mosi tidak percaya terhadap May pada 16 Januari 2019. Ternyata, tak semudah itu melengserkan May.
Dilandasi sentimen kepartaian, seluruh anggota partai pengusung pemerintah di Parlemen, Konservatif dan DUP, kompak menolak mosi tidak percaya yang diajukan oleh partai Buruh. Hasilnya, May masih dipercaya dengan hasil 325-306 suara.
Hal tersebut menunjukkan bahwa yang ditolak oleh Parlemen adalah hasil kesepakatan May dengan Uni Eropa dan bukan pertama-tama pemerintahan May. Walaupun pemerintahan May masih bertahan dari gempuran Parlemen, para penentang dari kubu oposisi dan dari dalam tubuh partai Konservatif telah berhasil menunjukkan diri, menyerukan sebuah konflik yang terbuka.
Pertemuan Lintas Partai
Dengan kepercayaan tipis yang masih tersisa dari parlemen, May diberi kesempatan menyusun ulang proposal tentang Brexit, plan B. Dijadwalkan, May akan menyampaikan usulannya pada 29 Januari 2019 di hadapan Parlemen.
Sesudahnya, Parlemen akan kembali mengadakan pemilihan suara menentukan dukungan terhadap rencana baru May. Bila Parlemen Inggris menyetujui proposal baru dari pemerintah, May masih harus kembali bernegosiasi dengan Uni Eropa sambil meminta tambahan waktu. Bahkan, apabila yang terjadi adalah referendum baru, Inggris tetap harus meminta tambahan waktu dari Uni Eropa.
Dalam usaha merebut hati anggota Parlemen, May melakukan pembicaraan dengan para ketua partai yang duduk di Parlemen. Ia menjalankan strategi baru, berusaha mendengarkan keinginan ketua Partai dan anggota Parlemen terkait Brexit.
Undangan May kepada para ketua partai tersebut tak seluruhnya ditanggapi. Ketua partai Buruh, Jeremy Corbyn, menolak mentah-mentah. Corbyn mensyarakat agar May terlebih dahulu menghilangan opsi no-deal sebelum berdiskusi. Corbyn tidak menginginkan Inggris meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan pada 29 Maret 2019. Bila May bersedia mengesampingkan opsi no-deal, Corbyn baru bersedia berdialog.
Baca Juga: Menimbang Perkara Brexit
Syarat yang diajukan oleh Corbyn sebenarnya sangat sulit untuk dilaksanakan, bahkan mustahil dipenuhi May. Pasca penolakan Parlemen, perkembangan Brexit menjadi sangat dinamis, tak ada yang dapat memastikan kelanjutannya.
Selain itu, sebagai eksekutif, May tidak dapat menjanjikan apa pun karena butuh persetujuan Parlemen. Oleh karena itu, May menyatakan bahwa dirinya tak punya kuasa untuk menentukan opsi yang akan diambil atau terjadi. May tidak dapat memenuhi syarat yang diajukan oleh Corbyn sehingga diskusi dengan Corbyn pun gagal terlaksana.
Politik yang Berulang
Penolakan ketua partai oposisi terhadap ajakan diskusi dari Pemerintah yang sedang berkuasa merupakan hal yang tak lazim dalam politik di Inggris dalam dua puluh tahun terakhir. Ditambah lagi, penolakan dari dalam partai Konservatif yang masif juga menunjukkan beragamnya suara di Parlemen.
Selisih 230 suara dalam pemungutan suara di Parlemen minggu lalu merupakan rekor selisih tertinggi dalam sejarah pemungutan suara di Parlemen.
Situasi tersebut menunjukkan perubahan langgam politik di Inggris, dari yang biasanya santun, cenderung kompromis demi mencapai konsensus, menuju politik yang kasar dengan konflik yang lebih terbuka.
Dari sisi partai oposisi, terutama ketua partai Buruh, Jeremy Corbyn, ketidaksepakatan dan penolakan tersebut bukanlah hal yang baru.
Sebelum menjadi ketua Partai, Corbyn lebih dikenal sebagai seorang politisi pinggiran yang menempati kursi bagian belakang di Parlemen (backbencher) dan pemberontak. Ia memilih untuk tidak berada dalam arus utama perpolitikan di Inggris sehingga tak segan berseberangan dengan kebijakan partai.
Ia sering dianggap sebagai duri dalam tubuh partai Buruh, terutama dianggap anti gerakan New Labour di bawah Tony Blair.
Corbyn juga konsisten menentang tindakan Inggris dan Amerika yang dianggapnya sebagai imperialis, bahkan ia menentang Israel. Hal tersebut membuat Corbyn dipinggirkan di Parlemen, tetapi sikapnya membuatnya popular di mata para pemilih.
Tercatat, selama duduk di Parlemen sejak 1983, hampir 500 kali ia memilih bertentangan dengan garis partai.
Hal yang membuat Corbyn tetap selamat dan dihargai sebagai politisi di kalangan partai Buruh dan Parlemen adalah otentisitasnya. Sebagai politisi sayap kiri, Corbyn adalah seorang sosialis demokrat yang konsisten.
Ia dikenal sebagai seorang yang mempraktikan apa yang dikatakan melalui sikap hidup. Corbyn mempraktikkan hidup sederhana, tidak memiliki mobil, dan selalu naik sepeda ke tempat kerja.
Ia juga menerapkan gaya hidup yang sehat dengan ketat, vegetarian, dan tidak makan makanan manis. Bahkan, Corbyn dikenal sebagai anggota Parlemen dengan pengeluaran paling kecil.
Selain itu, Corbyn juga dikenal sebagai demonstran kampiun yang inspiratif. Sejak masih sekolah, pada tahun 1960-an, Corbyn telah bergabung dengan Young Socialist dan aktif mengampanyekan anti perang dan denuklirisasi.
Ia tak segan turun berdemo bersama aktivis-aktivis muda. Oleh karena itu, di usia yang hampir 70 tahun ini, ia masih terampil menggendong megaphone untuk berorasi dalam sebuah demonstrasi.
Sekarang, dengan predikat sebagai ketua partai Buruh sejak 2015, Corbyn membawa partai lebih militan. Corbyn, yang menginjakkan kaki di Parlemen bersama dengan Tony Blair pada 1983, lebih tertarik dengan perjuangan partai Buruh tahun 80-an, daripada kebijakan Blair terhadap partai Buruh 1997, New Labour.
Corbyn memilih membawa partai Buruh yang dipimpinnya kembali ke manifesto partai Buruh 1983, “The New Hope For Britain” yang kental dengan sosialisme. Usaha tersebut ia wujudkan dalam manifesto partai Buruh 2017 “For the Many, Not the Few”. Ia menginginkan pembangunan yang dilakukan di Inggris lebih bermanfaat bagi semakin banyak orang.
Walaupun kata sosialisme tak disebut dalam manifesto tersebut, sangat terasa komitmen partai Buruh untuk menggunakan intervensi pemerintah dan dana publik untuk mendorong pengembangan industri dan menciptakan lapangan kerja.
Dengan demikian, dapat dipahami alasan Corbyn memilih menolak ajakan May. Corbyn ingin membawa suasana politik tahun 80-an ke panggung politik Inggris.
Mimpi Sosialisme
Pada kurun waktu 70-an dan 80-an, suasana politik di Inggris lebih diwarnai konfrontasi ideologis. Secara umum, suasana politik yang riuh juga terjadi di Amerika yang masih dibayangi oleh Perang Dingin.
Menurut analisis Andrew Sullivan di majalah New York Times edisi Agustus 2018, suasana perpolitikan di Inggris pada tahun 80-an sampai sekarang, secara cukup longgar, dapat disejajarkan dengan Amerika Serikat.
Pada tahun 80-an, saat Inggris dipimpin Margaret Thatcher, di AS terdapat Ronald Reagan yang sama-sama berhaluan kanan. Pada saat itu, debat ideologis masih sangat kental. Di Inggris, Thatcher dianggap sebagai tokoh yang berhasil mewujudkan ideologi pasar bebas.
Selanjutnya, ketika John Major menggantikan Thatcher di Inggris, AS dipimpin oleh George HW Bush yang sama-sama menyuarakan pendapat konservatif. Kedua tokoh tersebut masih mewarisi kebijakan ideologis para pendahulunya, terutama dalam pelaksanaan pasar bebas.
Ketika partai sayap kanan berkuasa, sebagai penyeimbang, partai oposisi sayap kiri menjalankan kritiknya dengan lantang dan siap merebut kekuasaan. Pada tahun 90-an dan 00-an, giliran partai berhaluan kiri yang menguasai Inggris dan AS. Di Amerika, para politisi terpukau dengan gerakan “New Demokrat” yang diusung oleh Bill Clinton.
Hal senada terjadi di Inggris. Para politisi tersihir kampanye “New Labour” dari Tony Blair yang mengadaptasi kebijakan kiri tengah ke kapitalisme pasar. Gerakan tersebut merupakan adaptasi dari pandangan Third Way dari sosiolog London School of Economics, Anthony Gidden.
Selama Blair berkuasa, politik di Inggris berjalan lebih pragmatis, mengedepankan konsensus antar partai politik, tanpa banyak perdebatan ideologis. Partai Buruh sebagai mayoritas mengambil posisi lebih lunak, mengikuti pandangan manifesto 1997 “New Labour because Britain deserves better” dan Third Way. Hal itu membuat tensi politik di Inggris melunak.
Sebagai ketua partai Buruh yang berhasil menguasai pemerintahan selama 10 tahun, Blair berhasil mewariskan suasana politik yang jauh dari kegaduhan. Langgam politik tersebut masih terjaga saat ketika Inggris dipimpin oleh Gordon Brown, yang juga berasal dari partai Buruh.
Melangkah ke fase selanjutnya, menjauh dari politik yang tenang dan kompromis, di tahun 2015 muncul Donald Trump yang mengampanyekan nasionalisme dan mimpi isolasi di AS dengan berapi-api hingga terpilih menjadi presiden AS pada 2017.
Suasana tersebut juga terjadi di Inggris. Baik partai Konservatif maupun Buruh mulai meninggalkan keyakinan terhadap sistem ekonomi yang selama ini dipuja-puja, pasar bebas. Mereka beralih memberi peran bagi negara untuk mengintervensi ekonomi. Hal itu tampak dari manifesto terkini dari kedua partai.
Dari kubu Konservatif, Theresa May memulai kecurigaan terhadap perkembangan pasar bebas walaupun sebatas retorika. Secara lebih konkret, partai Buruh menjanjikan kebijakan ekonomi yang dapat dirasakan oleh semua dengan memperkuat peran negara.
Suasana yang senada antara partai yang sedang berkuasa di Inggris dan AS tersebut ternyata juga membangkitkan perlawanan dari oposisi. Secara ideologis, berkembangnya nasionalisme di Amerika dan Eropa, ternyata juga berimbas pada bangkitnya mimpi sosialisme. Di Inggris, situasi semacam itu benar-benar dimanfaatkan oleh partai Buruh di bawah Jeremy Corbyn.
Sejak 2015, Corbyn membawa partai Buruh menjadi gerakan paling radikal dalam sejarah politik Inggris. Pesan yang dibawa sangat jelas, partai Buruh ingin kembali ke sosialisme tahun 1980-an yang digabungkan dengan anti imperialisme dan kebijakan politik yang anti intervensi asing.
Siklus politik yang terjadi di Inggris dan juga AS tersebut diumpamakan dengan menarik oleh David Miliband, penantang Corbyn di partai Buruh. Dalam era ketika konsensus menjadi panglima (90-an dan 00-an), para pemilih dan politisi laksana orang yang sedang memendam konflik dalam dirinya. Konflik tersebut lama-kelamaan menyesakkan sehingga membutuhkan pemecahan. Sebaliknya, ketika konfrontasi sering dipertontonkan, para politisi akan kelelahan dan cenderung mencari ketenangan.
Mantera Brexit
Di Inggris, kebangkitan nasionalisme dan keinginan menutup diri dari negara lain terwujud dalam referendum yang memenangkan Brexit.
Brexit berkembang seperti bola salju yang tak terbendung. Pada 2016, tak ada yang menyangka bahwa Brexit akan berkembang sejauh ini. Bahkan, saat ini tak ada yang dapat meramalkan dengan tepat perkembangan keluarnya Inggris dari Uni Eropa sehingga layak disebut bahwa krisis Berxit sedang terjadi di Inggris.
Ketika Brexit kemudian menjadi krisis, para politisi lantas berebut panggung. Bagi politisi, krisis menjadi momentum idaman, baik oposan maupun pendukung pemerintah. Konflik yang terbuka semakin dipertontonkan baik antara politisi dari partai yang berbeda maupun di dalam partai saat menanggapi Brexit.
Dalam kampanye sebelum referendum Brexit 2016, partai Buruh menempatkan diri bersama PM David Cameron menyuarakan “remain”, tetap menjadi bagian Uni Eropa. Dengan sikap resmi mendukung kampanye “remain”, partai Buruh juga diminta untuk berkampanye agar semakin banyak pendukung partai Buruh mendukung opsi “remain”.
Akan tetapi, Corbyn tidak sepenuhnya sependapat dengan sikap partainya. Ia dianggap setengah hati karena tidak ikut serta mengampanyekan “remain” bersama dengan ketua partai yang lain. Bahkan, kemudian Corbyn dianggap sengaja menggembosi hasil akhir referendum, berkhianat terhadap kebijakan partai.
Akibatnya, Corbyn diminta mundur dari jabatan ketua. Namun, Corbyn tetap dapat mempertahankan posisinya sebagai ketua partai Buruh. Bagi Corbyn, permintaan mundur adalah hal yang biasa, mengingat ia telah mengalami sekurangnya 100 kali percobaan penggulingan dari rekan satu partainya.
Corbyn tetap tak tergoyahkan memimpin partai Buruh karena otentisitasnya dalam pendapat dan sikap hidup jauh lebih unggul dibandingkan para penentangnya di partai Buruh.
Pasca referendum, terutama mendekati tenggat Brexit, Corbyn semakin menegaskan posisinya. Corbyn mendukung rakyat Inggris yang ingin keluar dari Uni Eropa. Bersamaan dengan itu, dia ingin menggagalkan agenda perdagangan neoliberal dari kaum Brexiter.
Terhadap jalan buntu yang dialami pemerintah di Parlemen, Corbyn mengusulkan untuk mengadakan pemilu. Itulah sebabnya, Corbyn telah merencanakan untuk kembali mengajukan mosi tidak percaya bila proposal May kembali tidak disetujui oleh Parlemen pada 29 Januari 2019.
Melalui pemilu, Corbyn berharap bahwa akan terjadi perubahan kekuatan sehingga muncul kesempatan bagi partai Buruh untuk menjadi mayoritas di Parlemen dan membentuk pemerintahan baru. Dengan kata lain, Corbyn sedang mencoba mengambil keuntungan menggunakan kemelut Brexit yang sedang dihadapi oleh pemerintah dan Parlemen.
Dukungan Rakyat
Menilik pelaksanaan Brexit yang sudah tinggal menghitung waktu, 29 Maret 2019, langkah politik Corbyn untuk mengocok ulang kursi Parlemen dengan pemilu tentu tak akan segera diterima oleh partai Konservatif yang sedang berkuasa. Akan tetapi, usaha Corbyn tersebut dapat menjadi ancaman nyata bagi partai Konservatif karena sentimen rakyat terhadap Parlemen sedang memburuk.
Jajak pendapat yang dibuat Ski Data Poll menunjukkan bahwa publik mendukung syarat yang diajukan oleh Corbyn. Sebanyak 54% suara menolak opsi no-deal. Mereka berharap bahwa Inggris dapat meninggalkan Uni Eropa dengan kesepakatan.
Banyak kalangan memang layak gentar bila Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan. Bagi warga negara Inggris yang tinggal di Eropa, bila Brexit terlaksana tanpa kesepakatan, mereka akan menghadapi persoalan administratif yang lebih bertele-tele.
Hal-hal yang sebelumnya tak harus dipikirkan karena menikmati status sebagai anggota Uni Eropa, mau tak mau harus dialami oleh warga negara Inggris. Warga Inggris akan diperlakukan layaknya warga negara di luar Eropa yang ingin masuk ke Eropa, baik untuk melancong, belajar, berbisnis, maupun bekerja.
Belakangan, Jeremy Corbyn, ketua partai Buruh juga menyatakan untuk terbuka terhadap opsi referendum ulang setelah ditekan oleh anggota partainya dan gerakan rakyat yang menyebut diri “People’s Vote”.
Corbyn menjadi lebih populer karena dianggap berada di belakang rakyat, bahkan sejak 2015 telah terbentuk pengikut garis keras yang disebut Corbynista. Bagi pendukungnya, ia dianggap sebagai satu-satunya orang kiri paling jujur di panggung politik.
Konsistensi Corbyn membawanya menjadi sosok inspiratif di segala zaman. Di masa Margaret Thatcher, Corbyn memberikan harapan adanya alternatif bagi konsensus neoliberal ala Thatcherisme. Di zaman Tony Blair dengan New Labournya, Corbyn konsisten dengan pandangan ideologisnya sehingga menjadi pilihan menari bagi kalangan sayap kiri yang dibungkam oleh politik santun di Westminster.
Popularisme Corbyn ini berbanding terbalik dengan sentimen negatif terhadap anggota Parlemen yang lain. Parlemen dianggap menunjukkan sikap yang bertolak belakang dengan keinginan publik, bahkan membajak kehendak rakyat.
May yang selama ini menentang referendum ulang karena menganggap sedang mengawal amanat rakyat untuk keluar dari Uni Eropa, tampaknya juga harus menghadapi suara rakyat yang mulai menyuarakan untuk melakukan referendum ulang.
Mabuk Brexit
Dalam krisis Brexit di Parlemen, usaha terakhir yang dapat dilakukan oleh May adalah melakukan konsolidasi di dalam partainya, Konservatif, terutama terhadap 118 anggota Parlemen dari partai Konservatif yang menolak hasil keputusan May dengan Uni Eropa.
Selain itu, May harus membujuk 10 anggota Parlemen dari DUP yang juga menentangnya. Walaupun dalam referendum 2016 mayoritas Irlandia Utara memilih tetap berada di Uni Eropa, DUP khawatir bahwa backstop akan membuka peluang bagi mereka yang menginginkan reunifikasi Irlandia. Apalagi, bila Brexit terjadi tanpa kesepakatan. Akan lebih banyak peluang bagi warga Irlandia Utara memunculkan ide unifikasi. Inilah penyebab DUP menentang persetujuan Theresa May.
Untuk mendapatkan dukungan dari DUP, May harus meyakinkan bahwa tidak akan terwujud pos lintas batas di kemudian hari. Untuk itu, May berencana mengubah perjanjian Good Friday menyangkut Irlandia Utara.
Dalam perjanjian Good Friday yang disetujui pada 1998, Inggris berkomitmen untuk tidak memberlakukan pos lintas batas di perbatasan Republik Irlandia dan Irlandia Utara. May berencana untuk merevisi perjanjian Good Friday dengan menambahkan beberapa teks yang lebih fleksibel.
Dengan memenangkan suara Parlemen, May berusaha untuk mengamankan jalan Brexit yang semakin tak tentu arah. Akan tetapi, para politisi yang telah dibuat mabuk oleh Brexit tak akan begitu saja mendukung May karena krisis Brexit adalah momentum bagi mereka untuk merebut kekuasaan.
Para politisi tak akan membiarkan May begitu saja melenggang dengan plan-B terkait Brexit. Berbagai aksi di Parlemen telah menanti Theresa May yang akan kembali berbicara ke Parlemen pada 29 Januari 2019. Sekurangnya ada delapan amandemen yang telah disiapkan oleh beberapa anggota Parlemen untuk memaksa pemerintah mengubah apa pun proposal yang diajukan.
Dalam suasana politik Inggris yang telah dibuat mabuk oleh Brexit, pandangan dan suara jernih dari mereka yang belum dibuat mabuk oleh Brexit diperlukan.
Harapan pertama diarahkan kepada Kerajaan Inggris yang selama ini terkesan diam karena posisi mereka yang tak boleh mencampuri wilayah politik. Di sisi lain, yang paling dinantikan adalah gerakan untuk menyadarkan para politisi yang mabuk Brexit dari mereka yang melahirkan Brexit: rakyat Inggris! (LITBANG KOMPAS)