JAKARTA, KOMPAS – Banyaknya kader partai politik terjerat kasus korupsi mendorong partai politik membenahi kebijakan antikorupsi internal. Sejumlah program mulai dari sekolah antikorupsi, pelatihan pada tiap tingkat kepengurusan, hingga membuat komitmen antikorupsi kolektif dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran bahaya korupsi sejak dini.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Renanda Bachtar di Jakarta, Jumat (25/1/2019), mengatakan, sejak 2,5 tahun lalu Partai Demokrat telah bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuat sekolah antikorupsi. Sekolah tersebut merupakan upaya edukasi untuk mengingatkan kader tentang bahaya korupsi dan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Ia menuturkan, program tersebut pertama kali diadakan di Jakarta dan berlanjut ke sejumlah kota, di antaranya Surabaya (Jawa Timur) dan Semarang (Jawa Tengah). Renanda mengaku, hasil program tersebut sudah cukup terlihat dari berkurangnya jumlah kader Partai Demokrat yang terkena kasus korupsi.
Sebelumnya, sejumlah kader Partai Demokrat terjerat perkara tindak pidana korupsi seperti Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan AA Mallarangeng. AA Mallarangeng kini telah selesai menjalani masa hukumannya dan telah kembali dalam dunia politik.
Selain sekolah antikorupsi, Partai Demokrat melakukan pelatihan-pelatihan khusus bagi anggotanya yang akan maju mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Para caleg diberikan pembekalan tentang tugas anggota legislatif serta hal-hal yang perlu dihindari agar menjadi wakil rakyat yang bebas korupsi.
“Ke depannya, kami akan semakin rutin mengadakan pelatihan anti korupsi agar pemahaman anggota terhadap isu ini semakin luas,” jelas Renanda saat dihubungi.
Renanda menambahkan, pendidikan antikorupsi dilakukan secara bertahap, dimulai dari awal rekrutmen anggota dan kemudian berlanjut hingga pada tingkat pengurus pusat. Hal tersebut dilakukan guna menanamkan nilai kejujuran dan integritas pada seluruh anggota sejak dini.
Citra
Usaha pemberantasan korupsi di tubuh partai juga melibatkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Kader dan pemimpin daerah secara berkala dipanggil untuk berdiskusi soal bahaya korupsi. Yudhoyono selalu mengingatkan agar seluruh kader tidak mengulangi kesalahan kader yang lalu karena kasus korupsi dapat berdampak negatif pada citra partai.
Pembenahan kebijakan antikorupsi juga dilakukan Partai Golkar. Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Ace Hasan Syadzily menuturkan, semenjak kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) yang melibatkan mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto, upaya peningkatan kesadaran anggota partai terhadap korupsi terus dilakukan.
Salah satu usaha dilakukan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto adalah mengumpulkan seluruh kepala daerah, yang juga kader Partai Golkar, untuk mengikuti program pelatihan antikorupsi. Edukasi tersebut dilakukan bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendapat gambaran yang komprehensif mengenai tindak pidana korupsi.
“Sebenarnya pelatihan ini sudah lama dilakukan pada setiap tingkat wilayah kepengurusan, hanya saja semakin diintensifkan mengingat banyaknya anggota yang mungkin belum mengetahui cara penggunaan anggaran yang baik dan tidak melanggar hukum. Ini juga bentuk upaya kami untuk membersihkan citra Golkar menjadi partai yang jujur dan bersih dari segala tindak korupsi,” ujar Ace.
Selain itu, seluruh kader Partai Golkar diwajibkan menandatangani pakta integritas tanpa kecuali. Dokumen tersebut berisi komitmen seluruh kader untuk menghindari perbuatan tidak terpuji, termasuk korupsi. Bila terbukti melanggar, mereka akan langsung diberhentikan dari keanggotaan partai.
Selanjutnya, Ace mengatakan, pihaknya juga melakukan upaya ini hingga ke tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Golkar mendorong setiap fraksi di parlemen untuk menyatakan komitmen untuk tidak melakukan tindakan korup seperti penyelewengan anggaran dan mengedepankan kejujuran, integritas, dan transparansi dalam penyelenggaraan negara.
Reformasi Sistem
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz berpendapat, maraknya korupsi oleh kader parpol merupakan konsekuensi dari belum dibenahinya sistem politik partai. Selama hal tersebut belum dibenahi, tindakan ini akan terus terjadi dan hanya berganti aktor.
Donal mengatakan, salah satu sektor yang perlu menjadi perhatian pengurus parpol adalah proses pemilihan kandidat pejabat daerah yang akan diusung partai. Hingga kini, belum ada alat ukur yang digunakan parpol untuk mencalonkan seseorang sebagai pemimpin daerah.
Parpol pada umumnya memutuskan pencalonan seseorang berdasarkan keputusan ketua umum dan melihat tingkat elektabilitas dari tokoh setempat. Praktik semacam ini memungkinkan terjadinya permainan mahar politik.
“Akibatnya, biaya politiknya akan tinggi karena mereka harus bayar tiket untuk nyalon. Setelah terpilih, mereka harus mengembalikan mahar politik itu. Pelunasan tidak mungkin dilakukan hanya mengandalkan tunjangan kepala daerah,” ungkap Donal.
Selain itu, partai juga harus memperbaiki sistem perekrutan kader. Selama ini, rekrutmen anggota partai dinilai kurang efektif karena hanya dilakukan menjelang tahun pemilihan. Imbasnya,proses pendidikan anggota, salah satunya di bidang anti korupsi tidak dilaksanakan secara menyeluruh dan memunculkan “kader instan” yang kurang kompeten.
Donal menyarankan pemerintah dapat membantu partai dalam proses perekrutan dan menaikkan anggaran partai politik. Kenaikan pembiayaan dapat membantu kaderisasi pada tubuh tiap partai sehingga akan memunculkan pengurus partai yang handal dan memahami efek negatif korupsi dengan jelas. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)