Samurai merupakan salah satu jalan hidup masyarakat Jepang sejak abad ke-9. Semangat kedisiplinannya terus hidup hingga kini dan menjadi karakteristik masyarakat Jepang.
Samurai menjadi pilihan judul novel kedua Yunitha Fairani, Samurai Blasteran. Padatnya aktivitas anak dengan kegiatan belajar, kursus, dan berolahraga, membuat anak usia sekolah menengah di Jepang menghabiskan energi untuk kegiatan itu.
Namun di tengah kepadatan aktivitas itu, anak-anak di Jepang dididik secara disiplin, hidup sehat, dan bekerja keras. Penulis novel Gado-gado dan Sushi itu melihat, spirit samurai yang memiliki aturan-aturan ketat tercermin dari kegiatan anak-anak di sekolah.
Bagi Rani, sapaan akrab Yunitha Fairani, samurai itu tim elit yang mempunyai tujuan jelas dan memiliki kedisiplinan tinggi merealisasikan tujuan itu. Melalui Samurai Blasteran gaya pendidikan Jepang yang dikisahkan dalam bahasa remaja itu, Rani ingin menginspirasi remaja Indonesia.
"Saya prihatin dengan kasus tawuran di Indonesia. Di Jepang, saya tidak pernah melihat tawuran karena energi anak dihabiskan untuk kegiatan positif dan padat. Semoga ini bisa menginspirasi anak di Indonesia," kata Rani dalam peluncuran buku Samurai Blasteran di salah satu toko buku di Senayan, Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Novel setebal 280 halaman itu ia tulis berdasarkan pengalaman mengasuh putranya di Jepang. Menurut Yunitha, orang Jepang menanamkan budaya serius dalam hal apapun, termasuk dalam mengikuti kegiatan tambahan di sekolah. Hal itu yang ia lihat ketika anaknya ikut kegiatan ekstrakurikuler.
Di dalam novelnya, Rani berkisah tentang tokoh Ryo, anak yang memiliki ayah berdarah Jepang dan ibu berdarah Indonesia. Di dalam novel, Ryo berjuang bersama tim voli sekolah meraih prestasi bergengsi antarsekolah.
Rani menggambarkan kegiatan anak-anak Jepang sesuai pengamatannya selama hidup di Jepang. Rani melihat banyak hal positif yang ia bisa ambil dari kegiatan anak-anak itu di sekolah.
"Mereka sungguh serius, bekerja keras, dan menikmati proses. Mereka latihan voli dalam kegiatan ekstrakurikuler setiap hari. Latihan dilakukan sebelum dan sesudah sekolah," kata Rani.
Rani juga mengisahkan hal-hal detail berdasarkan pengalamannya di Jepang. Betapapun sibuk orang tua anak-anak itu bekerja, mereka tetap menyempatkan membekali anak-anak dengan makanan yang bergizi dan berkualitas. Bahkan, anak akan merasa malu jika makanan yang dibawa tidak lengkap dan berkualitas.
Menurut Rani, hal itu yang membuat anak-anak tetap sehat meski memiliki kegiatan yang padat. Energi yang dikeluarkan dalam berkegiatan fisik di sekolah diimbangi dengan asupan gizi yang baik.
"Ini bisa menjadi inspirasi orang tua dalam mengasuh anak dalam menjalani gaya hidup sehat," kata Rani.
Ditinjau dari sisi kesehatan anak, novel ini menceritakan bagaimana anak-anak di Jepang disiplin menjalani hidup dengan aktifitas padat. Mereka tetap belajar dengan dan melakukan aktivitas fisik di sekolah. Asupan gizi juga diperhatikan orang tua dengan menyesuaikan aktivitas fisik anak.
Ketua Indonesia Sport Nutritionist Association, Rita Ramayulis, mengatakan, dengan beraktivitas fisik, anak mengeluarkan energi dari makanan yang dimakan. Hal itu bisa mencegah berat badan lebih dan obesitas pada anak.
Selasa lalu, Rita mengatakan, makanan di dalam piring anak perlu mengandung empat unsur, yakni karbohidrat, protein, sayur, dan buah. Asupan energi itu perlu diimbangi dengan pengeluaran energi dengan cara melakukan aktivitas fisik.
Jika energi yang didapat dari makanan tidak dikeluarkan melalui aktivitas fisik, jaringan lemak akan terakumulasi. Hal itu bisa berakibat pada kegemukan dan obesitas.
"Kegiatan fisik bagi anak dan orang dewasa itu penting. Karena penyakit berbahaya seperti penyakit jantung, diabetes, dan kolesterol bisa timbul akibat dari kegemukan dan obesitas," kata Rita. (SUCIPTO)