JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi turut menyelamatkan sumber daya alam melalui berbagai upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi di sektor tersebut. Selama ini, korupsi membuat masyarakat Indonesia tidak bisa menikmati keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab.
"Korupsi bukan hanya tentang hilangnya uang negara, tapi kegagalan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran negara," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif dalam diskusi umum bertajuk "Melawan Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam" di Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Berlangsung di Kantor Pusat Edukasi Anti Korupsi KPK, di Jakarta, Jumat (25/1/2019), diskusi itu turut dihadiri pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, dan Direktur World Resources Institute (WRI) Nirarta Samadhi selaku pembicara.
Laode memaparkan sejumlah intervensi yang dilakukan KPK sejak tahun 2009. KPK telah membuat kajian aspek perencanaan, pengelolaan, hingga pengawasan di berbagai bidang, seperti minyak dan gas, kehutanan, batubara, kelautan, hingga pencemaran lingkungan hidup.
Pada tahun 2018, KPK mengevaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA). Gerakan itu dibuat pertama kali pada 19 Maret 2015 dengan melibatkan 27 kementerian dan lembaga di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, kelautan dan perikanan.
Evaluasi dilakukan untuk memastikan penyelamatan SDA didukung seluruh pengambil kebijakan dan masyarakat. "Kita akan susah menjaga sumber daya alam Indonesia kalau orang-orang yang harusnya merawat tidak amanah," ujar Laode.
Sejauh ini, KPK telah memproses 24 pejabat dalam 12 kasus korupsi sumber daya alam. Kasus tersebut khususnya terkait sektor kehutanan. Upaya korupsi dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang dan penyuapan.
Contohnya, kasus korupsi Bupati Pelalawan, Riau, Azmun Jaafar. Ia ditangkap KPK karena diduga melakukan tindak pidana korupsi penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman pada 15 perusahaan (Kompas, 15/12/2007).
Pada 2008, ia dituntut 12 tahun penjara dan dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara. Ia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 19,8 miliar. Sementara itu, korupsi yang dilakukannya merugikan negara sampai Rp 1,208 triliun.
Kerugian
Negara juga rugi akibat kelalaian dan ketidakpedulian pemilik izin pengelolaan sumber daya alam dalam membayar pajak. "Dari 10.000-an izin, pemilik yang punya NPWP dan bayar pajak hanya sekitar 3000-an. Lalu ke mana uangnya?" kata Laode.
Ketidakpedulian tersebut juga turut memicu kerugian negara hingga triliunan rupiah. "Potensi pendapatan negara dari pengelolaan industri berbasis lahan jauh dari realisasi karena empat penyebab," kata Nirarta, yang pernah menjabat sebagai Deputi V Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Penyebabnya adalah tata kelola industri yang kurang memadai, kurangnya data, dan informasi terkait izin industri, kurangnya transparasi, dan persepsi bahwa sumber daya alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya.
Menurut Nirarta, kondisi itu memicu berbagai bentuk korupsi, seperti pemberian izin di kawasan lindung, perambahan secara ilegal, dan pemberian suap untuk memudahkan keluarnya izin.
Dino menambahkan, negara memang berhak menguasai kekayaan alam Indonesia untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana disebutkan Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.
"Tetapi kita belum bisa memaksimalkan sumber daya alam untuk kemakmuran, utamanya karena korupsi. Di dekade berikutnya, kita harus memanajemen dan mengawasi ini," ujarnya.
Ia mengatakan, banyak negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi belum bisa memperkaya masyarakatnya, seperti Indonesia, karena korupsi, kolusi, dan konflik sosial. Misalnya, Sudan di Benua Afrika. Sementara itu, negara yang bisa menyejahterakan masyarakat dengan kekayaan alamnya, seperti Norwegia dan Selandia Baru.
Agar Indonesia bisa seperti Norwegia dan Selandia Baru, perlu ada komitmen dan kepatuhan dari pemerintah dan industri. "Pemerintah harus punya political will (kemauan politik) dan industri yang mematuhi aturan," pesannya. (ERIKA KURNIA)