MAKASSAR, KOMPAS - Selain faktor alam, degradasi lingkungan membuat hujan lebat di Sulawesi Selatan jadi rawan berdampak banjir. Dibutuhkan tindakan agar banjir besar tidak terjadi setiap waktu mengingat Sulawesi Selatan adalah wilayah dengan curah hujan tinggi di Tanah Air.
Saat hujan pada Senin (21/1/2019) hingga memicu banjir dan sejumlah bencana terkait lainnya pada Selasa (22/1), curah hujan tertinggi terjadi di Lengkese, Kabupaten Takalar, 329 milimeter (mm) per hari; di Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, 308 mm per hari; dan di Pattene, Marusu, Kabupaten Maros, 310 mm per hari. Di Makassar, curah hujan 197 mm per hari (Kompas, 25/1/2018).
Berdasarkan kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Makassar, sedimentasi atau endapan material di jalur aliran Sungai Jeneberang di Kabupaten Gowa menyebabkan aliran sungai mudah meluap saat curah hujan tinggi. Sedimentasi tersebut di antaranya merupakan hasil dari pertambangan pasir di sekitar jalur sungai.
Selain akibat penambangan pasir, material batuan yang terbawa arus sungai juga ada yang berasal dari pelapukan batuan di kaldera Gunung Bawakaraeng. Kaldera tersebut letaknya berada di bagian hulu Sungai Jeneberang.
“Hulu Sungai Jeneberang memiliki tingkat sedimentasi tinggi pascalongsornya kaldera Gunung Bawakaraeng pada 2004 lalu,” ujar Kepala Puslitbang Unhas Adi Maulana, Jumat (25/1/2019).
Sedimentasi ini, menurut Adi, terbawa aliran sungai hingga mengendap di Bendungan Bili-Bili di Kabupaten Gowa. Endapan tersebut membuat volume tampung bendungan ini berkurang sehingga dapat cepat terisi penuh jika Kabupaten Gowa didera hujan deras.
Menurut Adi, sedimentasi yang terbawa aliran Sungai Jeneberang perlu disaring menggunakan sediment trap sejak di hulu. Untuk melakukan itu, diperlukan pemetaan guna menentukan aliran anak sungai pembawa longsoran kaldera Gunung Bawakaraeng.
“Pemetaan citra foto udara butuh waktu 1-2 minggu. Selanjutnya pemetaan lapangan untuk verifikasi juga butuh waktu 1-2 minggu. Kurang dari satu bulan sudah bisa ditentukan mulut sungai yang perlu dipasang sediment trap,” ujarnya.
Senada dengan Adi, Kepala Dinas Sumber Daya Air, Cipta Karya, dan Tata Ruang Sulsel Darmawan Bintang menyadari kalau mengeruk sedimentasi di Bendungan Bili-Bili tidak akan efektif. Hal itu disebabkan setiap hari hampir berton-ton material batuan dari hulu Sungai Jeneberang memenuhi bendungan.
“Konsolidasi dengan para pemangku kepentingan, yakni Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan-Jeneberang serta akademisi akan kami lakukan untuk menyelesaikan masalah Sungai Jeneberang,” ujar Darmawan.
Selain mengurangi material sedimentasi yang terbawa secara alami di Sungai Jeneberang, pihaknya juga berkomitmen untuk segera menertibkan pertambangan pasir liar yang menambah laju sedimentasi di daerah aliran sungai Jeneberang.
“Kami juga akan berupaya mengidentifikasi perubahan lahan untuk mengembalikan daerah resapan air di wilayah aliran sungai ke fungsi semula,” kata Darmawan.