JAKARTA, KOMPAS — Penanaman modal asing menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 yang ditargetkan mencapai 5,3 persen. Namun, investasi langsung yang dibidik mesti berorientasi ekspor produk jadi atau produk setengah jadi.
Bagi investor yang berniat menghasilkan produk ekspor, insentif dapat disiapkan. Sebaliknya, investor yang hanya berorientasi pasar domestik sebaiknya jangan diprioritaskan.
Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal, investasi langsung pada Januari-September 2018 mencapai Rp 535,4 triliun. Jumlah itu terdiri dari penanaman modal asing (PMA) Rp 293,7 triliun dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp 241,7 triliun.
Walaupun terkait ekspor-impor, Indonesia menghadapi defisit neraca perdagangan. Menurut Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia 2018 defisit sebesar 8,566 miliar dollar AS.
Defisit itu terjadi akibat neraca perdagangan migas defisit 12,4 miliar dollar AS, yang tidak bisa ditutup oleh surplus neraca nonmigas yang sebesar 3,837 miliar dollar AS.
”Intinya, investasi harus bisa menutupi kelemahan Indonesia di impor bahan baku atau barang modal. Tujuannya untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan, termasuk neraca dagang,” ujar Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro kepada Kompas, Kamis (24/1/219).
Dalam Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, transaksi berjalan triwulan III-2018 defisit sebesar 8,846 miliar dollar AS. Nilai ini setara 3,37 persen produk domestik bruto.
Ari mencontohkan, industri yang berorientasi produk jadi atau setengah jadi yang harus didukung antara lain perusahaan pembuat onderdil untuk industri otomotif.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro dalam pembukaan Global Research Briefing Standard Chartered Bank di Jakarta, Kamis, pun berpendapat, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017-2019 seharusnya bisa mencapai rata-rata 5,3 persen. Akan tetapi, sejauh ini, potensi itu belum bisa dicapai karena berbagai faktor, baik eksternal maupun internal.
”Motor penggerak pertumbuhan ekonomi bukan sekadar konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah, tetapi kita butuh banyak investasi asing langsung,” kata Bambang.
Ia menambahkan, target pertumbuhan ekonomi tahun ini dapat dicapai jika ada kontribusi investasi langsung sebesar 7 persen. Investasi bukan hanya dari pemerintah dan domestik, tetapi dibutuhkan lebih banyak investasi asing.
Investor asing pun diharapkan berinvestasi di sektor riil sehingga bisa berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
Insentif
Ekonom Standard Chartered, Aldian Taloputra, menyampaikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 diperkirakan 5,1 persen, ditopang konsumsi rumah tangga yang relatif stabil.
”Daya saing mesti ditingkatkan dengan konsisten dan berkelanjutan karena negara-negara lain juga berlomba mengumpulkan investasi,” kata Aldian.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, insentif fiskal menjadi salah satu strategi mendorong pertumbuhan ekonomi. Insentif terbaru disediakan bagi perusahaan dalam negeri yang membentuk entitas anak perusahaan bersama perusahaan asing.
Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani, pelaku usaha tidak mempersoalkan besaran insentif. Pelaku usaha lebih menyoroti pentingnya stabilitas dan implementasi kebijakan. Yang tidak kalah penting adalah insentif yang diberikan harus terkoordinasi dari tingkat pusat hingga daerah. (KRN)