Industri perhotelan mendapat pengaruh kuat akibat perkembangan teknologi digital. Tak hanya informasi dan pemasaran properti saja yang bisa dijangkau dalam waktu singkat melalui telepon pintar. Namun, memunculkan potensi bisnis baru dari industri perhotelan dengan konsep economy sharing.
Bisnis baru yang disebut sebagai room sharing atau accommodation sharing tersebut digadang-gadang sebagai pesaing berat industri perhotelan. Room sharing merupakan ruang atau kamar kosong yang tidak digunakan dalam rumah seseorang dapat disewakan melalui aplikasi seperti AirBnB atau AiryRoom.
Salivoni dalam penelitian “Hotel Chains and the Sharing Economy in Global Tourism (2016)“ menyebutkan bahwa model persewaan ruang penginapan bukanlah hal baru. Pembeda accommodation sharing dengan model persewaan ruang penginapan tradisional adalah hubungan antara individu dengan individu bukan lagi antara individu dengan pihak hotel.
Konsep bisnis ini mempertemukan antara kebutuhan akomodasi konsumen dengan pemilik ruang yang membutuhkan pemasukan. Selain itu jenis penginapan seperti AirBnB dan AiryRoom cenderung lebih murah, lebih menarik karena mengadopsi gaya hidup dan budaya lokal, dan menyediakan layanan layaknya rumah sendiri (dengan perlengkapan rumah tangga).
Dengan keuntungan tersebut tidak heran masyarakat mulai melirik model penginapan tersebut. Hal tersebut tergambar dalam survei jajak pendapat Kompas. Separuh lebih responden lebih memilih penginapan berupa homestay (rumah atau apartemen yang disewakan) berbasis aplikasi seperti AirBnB, Airyrooms, atau Zen Rooms. Pilihan tersebut mengalahkan pilihan responden lain yang memilih penginapan hotel berbintang maupun hotel kelas melati, meski media pemesanannya pun telah menggunakan aplikasi.
Konsumen yang memilih penginapan accommodation sharing dapat dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan penelitian berjudul “Why Tourists Choose Airbnb: A Motivation-Based Segmentation Study (Daniel Guttentag dkk) terhadap wisatawan yang berada di kota-kota di Kanada. Pertama adalah konsumen yang memilih berdasarkan biaya yang lebih murah dibandingkan penginapan hotel biasa. Kedua adalah kelompok pengguna platform yang merasakan kenyamanan saat di penginapan karena merasa seperti di rumah sendiri dengan perlengkapan dan ruang seperti di rumah.
Selanjutnya adalah pengguna platform yang ingin merasakan penginapan yang menyediakan interaksi dan lingkungan lokal. Terakhir, alasan mencoba pengalaman baru di penginapan berbasis aplikasi menjadi pilihan pengguna platform untuk memilih accommodation sharing.
Sejak masuk ke Asia Tenggara pada tahun 2012, bisnis accommodation sharing terus melonjak. AirBnB yang hadir di Jakarta dan Bali, misalnya, telah menunjukkan perkembangan drastis. Pada tahun 2015 jumlah penginapan yang terdaftar di AirBnB di kedua daerah tersebut 10.200 unit. Setahun kemudian, meningkat menjadi 21.600 unit. Pada tahun 2017, AirBnB di Jakarta dan Bali telah melayani 940.000 tamu. Rata-rata setiap tempat dihuni 24 malam dengan rata-rata penghasilan pemilik penginapan 26,1 juta rupiah.
Perkembangan AirBnB cukup pesat, jika dibandingkan dengan hotel (penginapan konvensional). Sebagai gambaran, selama 2015-2016, jumlah kamar yang terdaftar dalam AirBnB Asia Tenggara naik 124, 5 persen. Bandingkan dengan jumlah kamar hotel yang hanya naik 2,02 persen. Bahkan di Indonesia jumlah kamar hotel hanya naik kurang dari 1 persen .
Munculnya AirBnB juga mempengaruhi tingkat okupansi akomodasi berbayar yang disediakan oleh rumah-rumah biasa atau apartemen. Sebagai ilustrasi, sekitar 42 persen sampai 63 persen kamar yang dipesan di AirBnB tidak akan menjadi milik hotel jika tanpa AirBnB. Artinya, tanpa sistem AirBnB, masyarakat akan lebih memilih menginap di rumah keluarga/teman, dibandingkan harus membayar kamar hotel dengan biaya tinggi. Namun dengan adanya AirBnB, mereka dapat menikmati fasilitas akomodasi dengan biaya yang lebih murah.
Hal ini bukan berarti konsumen lebih menyukai AirBnB karena tarif yang murah saja. Namun menurut penelitian “The Welfare Effects of Peer Entry in the Accommodation Market: The Case of Airbnb (Farronato, 2016)”, konsumen AirBnb memaknai harga yang sesuai dengan ketersediaan akomodasi berkualitas baik. Misal, penginapan AirBnb memiliki fasilitas dapur yang selama ini tidak disediakan hotel dalam masing-masing kamar. Juga dengan pemandangan indah yang dimiliki apartemen AirBnb.
Meskipun begitu, target pasar AirBnB dengan hotel berbeda. Penginapan berbasis sistem accommodation sharing tersebut masih didominasi oleh konsumen dengan tujuan kunjungan berwisata, sementara hotel didominasi oleh konsumen dengan tujuan kunjungan berbisnis.
Disrupsi teknologi akan sangat terasa bagi industri perhotelan apabila bisnis room sharing seperti AirBnB merambah target pasar para pebisnis. Salah satu inovasi yang dilakukan hotel demi mempertahankan diri adalah mengembangkan fungsi hotel dari hanya penginapan menjadi ruang publik.
Contohnya adalah Hotel Kampi Zainuddin di Surabaya. Untuk mengejar target konsumen milenial, mereka menyediakan co-working space. Hotel ini tidak hanya mengandalkan pendapatannya dari fasilitas penginapan yang disediakan namun mereka mengembangkan ruang publik yang lebih dibutuhkan konsumen saat ini. (M. PUTERI ROSALINA & DEBORA LAKSMI/ LITBANG KOMPAS) (BERSAMBUNG)