Jakarta, Kompas - Kendati kebakaran hutan relatif bisa teratasi, jumlah titik panas sangat fluktuatif. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, petani, dan pengusaha tetap perlu waspada dan bergandengan tangan mengatasinya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya bersama Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead melaporkan perkembangan penanganan kebakaran hutan dan lahan kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Di awal 2019 sampai 22 Januari, terpantau 41 titik panas. Jumlah ini lebih tinggi dari periode sama pada 2018. “Kita harus tetap waspada,” ujar Siti.
Daerah yang harus diwaspadai pada 2019 ini adalah Provinsi Riau dan Jambi yang mengalami kebakaran hutan dan lahan relatif kerap tahun lalu. Selain itu, Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur juga perlu berhati-hati dengan kemungkinan karhutla.
Untuk mengantisipasi karhutla, kerja sama antara pemerintah pusat dengan Satgas provinsi dan kabupaten/kota perlu terus dijaga. Diakui ada kendala karena anggarannya tidak dicadangkan dengan baik oleh pemerintah daerah. Kendati demikian, dukungan anggaran dari BNPB membuat operasional di lapangan akan tetap berjalan.
Karenanya, kata Siti, patroli harus diintensifkan. Satgas-satgas pemantau karhutla juga harus diaktifkan kembali. Pemantauan dan analisa titik panas tetap perlu dilakukan.
Dalam catatan Kementerian LHK, ada penambahan luas kebakaran pada 2018 menjadi 510.564 hektar ketimbang 2017 yang 165.528 hektar. Namun, luasan karhutla pada 2018 itu masih sangat rendah dibanding luasan karhutla pada 2015 yang mencapai 2.610.000 hektar.
Jumlah titik panas yang terjadi sepanjang 2017 juga relatif tinggi, yakni 9.245 kejadian, meningkat dari 2018 dengan 2.440 titik panas. Namun, jumlah tersebut juga jauh ketimbang titik panas pada 2015 yang mencapai 70.971 kejadian.
Selain langkah-langkah tersebut, pendampingan pada petani-petani yang memiliki kebiasaan bertanam berpindah dan membakar lahan satu yang juga harus dilanjutkan. Sebagian petani, menurut Nazir, sudah tak lagi membakar lahan dan mulai membangun sumur bor. Wilayah pun aman dari karhutla.
“Pemerintah melalui BRG, Dinas Pertanian Pemda, Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR membantu menyosialisasikan ke masyarakat mulai memberikan bibit, menjelaskan bercocok tanam di wilayah gambut tanpa membakar lahan, juga peternakan dan perikanan air tawar. Jadi masyarakat tetap bisa mengelola gambut dan mendapat income tanpa memakai api. Ternyata efektif,” tuturnya.
Selain itu, sekat kanal juga dibuat di areal gambut baik oleh swasta maupun oleh BRG. Sejauh ini, sekat kanal yang dibangun BRG hampir mencapai 700.000 hektar. Sedangkan pengusaha sudah membangun 2 juta hektar.
Sekat kanal ini, menurut Nazir, sangat efektif. Di sekitar sekat kanal sampai radius dua kilometer relatif sedikit terjadi titik panas.
Siti pun mengapresiasi semakin banyak perusahaan yang ikut bertanggung jawab mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Saat ini, beberapa perusahaan mengembangkan sistem sendiri dengan tim pemadam kebakaran, pemantauan satelit, pengecekan menggunakan kamera thermal. Dengan demikian, perusahaan ikut bertanggung jawab untuk wilayah sekitar dalam radius 3-5 kilometer, termasuk dalam pemulihan lahan gambut.
Ke depan, kata Siti, akan diselesaikan sistem monitoring ketinggian air di lahan gambut, tata air, serta pedoman untuk mengelola lahan gambut. Dengan demikian, harapannya semakin banyak perusahaan bisa ikut serta mengelola dan menjaga lahan gambut dari kebakaran.