Siklon Tropis Riley Menambah Intensitas Hujan dan Gelombang
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Siklon tropis Riley telah terbentuk di dekat Laut Timor pada Kamis (24/1/2019). Keberadaan siklon itu menambah intensitas hujan dan gelombang tinggi di sejumlah perairan Indonesia yang sejak beberapa hari terakhir mengalami kondisi cuaca ekstrem.
Informasi dari Pusat Peringatan Dini Siklon Tropis Jakarta-Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Kamis pagi, siklon tropis itu berada sekitar 810 kilometer arah selatan Waingapu, Sumba Timur, dengan koordinat 16,9 Lintang Selatan, 120,8 Bujur Timur. Siklon bergerak arah barat daya dengan kecepatan 11 knot atau 20 kilometer per jam. Tekanan terendahnya 992 milibar dan kekuatan putarannya 40 knot atau 75 kilometer per jam.
Pada 25 Januari 2019 pukul 07.00, siklon tersebut diperkirakan berada di 17,4 LS, 118,4 BT atau sekitar 890 kilometer sebelah selatan barat daya Waingapu. Pada saat itu, kekuatan siklon bertambah menjadi 60 knot atau 110 kilometer per jam.
Kepala Subbidang Prediksi Cuaca BMKG Agie Wandala Putra mengatakan, siklon tropis Riley memberikan dampak terhadap cuaca di Indonesia berupa peningkatan intensitas hujan di beberapa daerah. Hujan dengan intensitas sedang-lebat itu diperkirakan terjadi di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Kepala Bidang Informasi Meteorologi Maritim BMKG Eko Prasetya mengatakan, dampak siklon juga akan meningkatkan tinggi gelombang. Ketinggian gelombang 4-7 meter akan melanda perairan Samudra Hindia sebelah selatan Jawa Timur, Bali, hingga Pulau Sumba.
Kondisi itu juga akan terjadi di perairan di Selat Bali-Selat Lombok-Selat Alas bagian selatan, Selat Sumba bagian barat, perairan Pulau Sawu, Laut Sawu, perairan Kupang-Pulau Rote, Laut Timor bagian selatan. Sementara gelombang laut dengan ketinggian 2,5-4 meter berpotensi terjadi di Samudra Hindia Selatan Jawa Barat hingga Jawa Tengah, Selat Sumba, dan Selat Ombai.
”Paling rawan terutama perairan di selatan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Apalagi di sana banyak nelayan sehingga sebaiknya tidak berlayar dulu. Demikian halnya penyeberangan di pulau kecil kawasan ini dengan kapal-kapal kecil harus lebih waspada,” kata Eko.
Paling rawan terutama perairan di selatan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Apalagi di sana banyak nelayan sehingga sebaiknya tidak berlayar dulu.
Selain itu, kata Eko, angin kencang berpotensi melanda kawasan pesisir di selatan Jawa hingga NTT. ”Biasanya di sekitar badai tropis, kecepatan angin lebih dari 60 kilometer per jam dan bisa berdampak terhadap bangunan semipermanen,” katanya.
Hujan ekstrem
Sebagaimana diberitakan, hujan ekstrem dengan intensitas hingga di atas 300 milimeter per hari terekam di sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan, menyebabkan banjir melanda di sembilan kota dan kabupaten pada Rabu (23/1/2019). Untuk tiga hari ke depan, hujan ekstrem dan angin kencang masih berpeluang terjadi di Jawa, Bali, NTB, NTT, hingga Papua.
Sejumlah stasiun pengukur curah hujan milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta BMKG mencatat curah hujan di Sulawesi Selatan pada Selasa (22/1/2019) rata-rata di atas 100 milimeter per hari. Curah hujan tertinggi terdapat di Lengkese, Kabupaten Takalar, yaitu 329 milimeter per hari. Sementara di Pos 1 Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, mencapai 308 milimeter per hari dan di Pattene, Marusu, Kabupaten Maros, mencapai 310 milimeter per hari.
Di Stasiun Meteorologi Hasannudin di Makassar, curah hujan tercatat 197 milimeter per hari dan di Maros terekam curah hujan 133 milimeter per hari. Sementara curah hujan di daerah lain di Indonesia yang tergolong tinggi terekam di Pulau Bawean dengan intensitas 121 milimeter per hari, hulu Krukut, Jakarta Barat, sebesar 109 milimeter per hari. Berikutnya, curah hujan 96 milimeter per hari tercatat di Ampenan, Lombok.
Kepala Subbidang Prediksi Cuaca BMKG Agie Wandala Putra di Jakarta, Rabu, mengatakan curah hujan yang ekstrem di Sulawesi Tengah disebabkan kombinasi beberapa faktor. ”Penyebab utamanya adalah MJO (Madden Julian Oscillation) bersama dengan monsun dingin Asia. Selain itu, juga terdapat area konvergensi atau pusaran angin,” katanya.