Pasar Layanan ”Cloud” Indonesia Dikuasai Penyedia Asing
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat adopsi layanan komputasi awan atau cloud computing, berdasarkan riset International Data Corporation Indonesia, saat ini masih berada di angka 25-30 persen. Tingkat adopsi tersebut dianggap rendah.
Market Analyst Information Technology Services International Data Corporation (IDC) Indonesia Meily Lisdiyanti, Kamis (24/1/2019), di Jakarta, menyebutkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang relatif stagnan bereaksi terhadap pemanfaatan komputasi awan. Perbedaan budaya, sumber daya, dan infrastruktur yang terbatas menjadi tantangan yang sering ditemui oleh penyedia layanan komputasi awan.
”Pergerakan adopsinya perlahan. Perusahaan atau organisasi di Indonesia baru mulai menaruh minat dan mencoba. Terdorong tren global, sebagian besar perusahaan di Indonesia mulai mencari mitra lokal untuk memahami dan melakukan transformasi yang salah satunya ditandai dengan mengadopsi komputasi awan,” tuturnya.
Sesuai data IDC Indonesia, pangsa pasar layanan komputasi awan publik atau public cloud di Indonesia masih didominasi pemain global. Di urutan pertama ada Amazon Web Services (19 persen), diikuti Microsoft (11 persen), dan IBM (8 persen).
Menurut Meily, Indonesia merupakan negara unik. Ada budaya-budaya bekerja dalam perusahaan atau organisasi lokal yang tidak selalu sama dengan global. Oleh karena itu, cara yang tepat meningkatkan tingkat adopsi ataupun pangsa pasar layanan berbasis komputasi awan dimulai dari gencar mengedukasi.
Sebagai contoh, Biznet, penyedia layanan komputasi awan lokal, mulai masuk ke pasar dengan mengadakan roadshow ke 100 kota. Sasaran peserta roadshow adalah komunitas UMKM.
Amazon Web Services (AWS) Evangelist Khusus Asia Tenggara Donnie Prakoso menyebutkan, sekitar 90 persen inovasi kemampuan layanan komputasi awan AWS adalah hasil masukan dari pelanggan. Ia mencontohkan, di layanan bernama Amazon SageMaker, AWS menciptakan kemampuan baru yang memungkinkan tenaga pengembang membangun, melatih, dan menyetel fitur mesin pembelajaran.
Contoh lain, pada produk kecerdasan buatan yang dioperasikan melalui sistem komputasi awan, AWS telah mengembangkan kemampuan intelijensi secara lebih personal.
”Mengembangkan produk berbasis mesin pembelajaran dan kecerdasan buatan memerlukan kecakapan serta keahlian tinggi. Tidak banyak tenaga teknologi informasi yang kompeten. Oleh karena itu, kami ciptakan kemampuan yang mudah dipahami dan disetel,” ujar Donnie.
Donnie mengungkapkan, di Indonesia, pelanggan AWS berasal dari korporasi sampai perusahaan rintisan. Misalnya, Lion Air Group, Tokopedia, Sociolla, The Body Shop, dan BrideStory.
Mengutip CNBCpada 2 Desember 2018, analis perusahaan riset dan konsultan teknologi informasi Gartner Inc, Lydia Leong, menyampaikan, AWS menandatangani lebih banyak kesepakatan bisnis dibandingkan dengan pesaing utamanya, seperti Microsoft Azure dan Google Cloud. Informasi ini dia temukan berdasarkan cerita klien Gartner.
Menurut dia, sebagian besar nilai kesepakatan yang dihasilkan AWS dari klien Gartner berada dalam kisaran 5 hingga 15 juta dollar AS. Nilai secara signifikan lebih tinggi dari Microsoft Azure yang cenderung di bawah 1 juta dollar AS dan Google Cloud yang biasanya di bawah 5 juta dollar AS.
”Temuan menarik lainnya adalah tren sejumlah klien Gartner yang mau melakukan pembaruan kesepakatan bisnis dengan AWS karena ada proyek transformasi digital tak terduga,” ujar Lydia.
Saat konferensi teknologi re:Invent 2018, November lalu, AWS mengumumkan telah menerima sejumlah kesepakatan bisnis dengan perusahaan besar, seperti Amgen, Capital One, dan Korean Air.
Chief Financial Officer Microsoft Amy Hood menyebutkan, pada triwulan I-2018, pendapatan Azure tumbuh 76 persen. Pencapaian kinerja produk komputasi awan ini diakui sudah sesuai harapan Microsoft.
Microsoft mengklaim, Azure telah dipakai sejumlah korporasi besar di dunia, seperti BMW, Starbucks, Shell, dan Volkswagen. Microsoft berkomitmen terus melakukan diferensiasi strategi dalam memasarkan layanan dan membantu pelanggan mengoptimalkan bisnis mereka menggunakan komputasi awan.
Sementara CEO Google Sundar Pichai, seusai melakukan konferensi dengan analis keuangan Februari 2018, mengatakan, komputasi awan telah menjadi bisnis yang menghasilkan pendapatan miliaran dollar AS setiap triwulan. (MED)