BANDA ACEH, KOMPAS – Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh menjadi ladang perburuan satwa lindung seperti gajah, harimau, orangutan, dan rangkong. Sejak 2014 hingga 2018 sebanyak 5.529 perangkap dan jerat satwa ditemukan di dalam kawasan hutan.
Koordinator Wildlife Protection Team-Forum Konservasi Leuser (WPT-FKL) Dediansyah, Kamis (24/1/2019) di Banda Aceh, mengatakan, tim patroli melakukan penyisiran di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di 13 kabupaten di Aceh. “Perburuan masih menjadi ancaman utama terhadap keberlangsungan satwa lindung di Leuser,” kata Dediansyah.
Pada 2018, patroli dilakukan selama 302 kali (satu kali patroli durasi 15 hari) dengan menurunkan sebanyak 26 tim. Setahun terakhir, tim patroli telah menempuh perjalanan 18.800 kilometer. Selama setahun itu, tim menemukan 613 kasus perburuan, sebanyak 843 jerat dan perangkap, dan 176 camp pemburu. Tim juga menemukan 38 orang pemburu yang sedang memasang perangkap dan ditemukan sebanyak 96 bangkai satwa yang diduga mati karena diburu. Sedangkan pada 2017, tim patroli FKL menemukan 729 kasus perburuan dan 814 jerat satwa.
Tanpa penegakan hukum yang tegas, satwa-satwa lindung ini akan punah
Menurut Dediansyah, meski ada penurunan penemuan kasus, perburuan masih sangat marak. “Kami berhadapan langsung dengan pemburu di lapangan, mereka sebagian besar orang Aceh, namun ada juga dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat,” kata Dediansyah.
Jerat dan perangkap sengaja dipasang oleh pemburu. Bentuk jerat dan perangkap beragam. Ada yang terbuat dari baja sling, papan yang dipasangi paku, dan jeruji besi yang dilas.
Dediansyah mengatakan, perburuan marak karena penegakan hukum dan perlindungan satwa di dalam kawasan masih lemah. Pemburu dengan mudah masuk ke dalam kawasan dan memburu satwa lindung. “Permintaan terhadap organ satwa di pasar gelap tinggi sehingga perburuan juga marak. Tanpa penegakan hukum yang tegas, satwa-satwa lindung ini akan punah,” kata Dediansyah.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo menuturkan, perburuan masih menjadi ancaman terbesar terhadap satwa lindung. Kematian satwa lindung dominan karena perburuan. Dalam kasus kematian gajah, penyebab utama diburu, diracun, disetrum, dan dijerat. Sejak 2015-2018 sebanyak 38 ekor gajah mati. Seekor gajah jinak yang berada di pusat mitigasi konflik, bahkan dibunuh pemburu.
Perburuan juga telah memicu konflik satwa dengan manusia. Pada akhir tahun lalu, harimau kerap turun ke permukiman penduduk dan memangsa ternak lantaran habitatnya terusik.
Namun kata Sapto, penegakan hukum terhadap terdakwa kasus perdagangan satwa lindung kian baik. Kasus terakhir pengadilan menjatuhkan vonis empat tahun penjara terhadap pelaku pembunuhan gajah jinak di Aceh Timur. “Vonis berat terhadap pelaku kejahatan perdagangan satwa untuk memberikan efek jera,” kata Sapto.
Direktur Orangutan Information Centre (OIC) Panut Hadisiswoyo mengatakan, kondisi orangutan Sumatera kian terancam akibat perburuan dan perdagangan satwa. Di samping itu, deforestasi hutan juga memicu kerusakan habitat orangutan. “Banyak orangutan kini terdesak dan teriolasi karena habitatnya hancur, alih fungsi lahan telah merampas rumah mereka,” kata Panut.
Pada 2018, OIC mengevakuasi 14 ekor orangutan yang terisolasi di perkebunan warga di Aceh. Orangutan itu kemudian direlokasi ke kawasan hutan. Adapun pada 2018, sebanyak 6 ekor orangutan disita dari warga.
Panut mengatakan penyitaan tidak memberikan efek jera karena tanpa penindakan hukum. Oleh sebab itu, Panut mendesak aparatur menindak warga yang memelihara dan memperdagangkan satwa lindung.
Saat ini jumlah populasi orangutan sumatera di Aceh dan Sumatera Utara sekitar 1.700 ekor. Iat khawatir, jika perburuan, perdagangan satwa, dan pengrusakan hutan tidak dihentikan orangutan akan punah.