Penanaman modal asing di dalam negeri menjadi salah satu tumpuan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang ditargetkan 5,3 persen. Untuk itu, strategi pemberian insentif fiskal dan perpajakan disiapkan.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penanaman modal asing di dalam negeri menjadi salah satu tumpuan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang ditargetkan 5,3 persen. Untuk itu, strategi pemberian insentif fiskal dan perpajakan disiapkan. Sementara pengusaha menilai insentif saja tidak cukup. Lebih dari itu, mereka menekankan pentingnya stabilitas dan implementasi kebijakan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro saat pembukaan Global Research Briefing Standard Chartered Bank di Jakarta, Kamis (24/1/2019), mengatakan, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017-2019 seharusnya bisa mencapai rata-rata 5,3 persen. Namun, sejauh ini potensi belum bisa tercapai karena berbagai faktor, baik eksternal maupun internal.
Untuk diketahui, pada 2017, pertumbuhan ekonomi 5,1 persen. Adapun proyeksi sementara pertumbuhan ekonomi 2018, 5,15 persen.
”Motor penggerak pertumbuhan ekonomi bukan sekadar konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah, tetapi kita butuh banyak investasi asing langsung,” katanya.
Mengutip data Bank Indonesia, investasi langsung pada triwulan I-III tahun 2018 sebesar 9,9 miliar dollar AS atau setara Rp 138,6 triliun.
Sementara data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan, investasi langsung pada Januari-September 2018 mencapai Rp 535,4 triliun, yang terdiri dari penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing.
Bambang menjelaskan, dari hitungan Bappenas, target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen bisa tercapai jika investasi tersebut memberikan kontribusi setidaknya 7 persen. Investasi bukan hanya dari pemerintah dan domestik, melainkan butuh lebih banyak dari asing. Mereka diharapkan berinvestasi di sektor riil sehingga bisa memberi dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.
”Pertumbuhan investasi 7 persen cukup menantang. Untuk itu, strategi diarahkan untuk membuat investor nyaman salah satunya dengan mempermudah regulasi,” kata Bambang.
Selain investasi, kontribusi pertumbuhan ekonomi juga bersumber dari konsumsi rumah tangga 5,1 persen, belanja pemerintah 5,4 persen, ekspor 6,3 persen, dan impor 7,1 persen.
Ekonom Standard Chartered Aldian Taloputra berpendapat, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan 5,1 persen, ditopang dari konsumsi rumah tangga yang relatif stabil. Investasi bisa tumbuh kendati tidak terlalu signifikan dari realisasi pembangunan infrastruktur strategis.
Pemerintah menargetkan sekitar 23 persen pembangunan infrastruktur strategis nasional selesai tahun 2019.
”Peningkatan daya saing mesti konsisten dan berkelanjutan karena negara-negara lain juga berlomba mengumpulkan investasi,” kata Aldian.
Menurut dia, insentif seharusnya diberikan untuk penanaman modal asing berorientasi ekspor dan memiliki efek berganda. Untuk itu, pemerintah mesti lebih selektif memberi insentif. Insentif jangan hanya untuk investasi berbasis domestik. Berkaca pada kondisi tahun lalu, investasi langsung yang merosot dan ekspor melambat berdampak pada pelemahan rupiah.
Insentifpajak
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, insentif fiskal menjadi salah satu strategi mendorong pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Insentif terbaru untuk perusahaan dalam negeri yang membentuk entitas anak perusahaan (spinoff) bersama perusahaan asing. Spinoff bisa menggunakan nilai buku tidak harus revaluasi aset.
”Kalau menggunakan nilai buku, perusahaan tidak usah membayar Pajak Penghasilan (PPh) badan terutang,” kata Suahasil.
Selain itu, pemerintah juga menerbitkan sejumlah insentif perpajakan, seperti pengurangan PPh badan 100 persen (tax holiday) dan 50 persen (mini tax holiday). Insentif perpajakan ini diberikan untuk perusahaan asing dengan minimal investasi Rp 500 miliar. Selain investasi langsung, insentif pajak lain juga diberikan untuk investasi riil dan portofolio.
Terkait dengan pemilihan komoditas unggulan, pemerintah memprioritaskan ekspor lima komoditas bernilai tambah tinggi, yaitu industri kimia, tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronik, otomotif, serta makanan dan minuman.
Sektor lainnya bisa dari industri perikanan, permesinan, peralatan kesehatan, furnitur, serta produk kayu dan kertas.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menambahkan, pelaku usaha tidak mempersoalkan besaran insentif, tetapi stabilitas dan implementasi kebijakan. Berbagai insentif yang diberikan, misalnya, harus terkoordinasi dari pusat hingga ke daerah. Pasalnya, selama ini persoalan muncul saat kebijakan diimplementasikan.
Selain insentif, pemerintah diharapkan juga lebih aktif menjalin kerja sama internasional dan perdagangan bebas (FTA) untuk meningkatkan daya saing. Produk ekspor diharapkan bisa lebih mudah masuk, dan pasar yang dibidik lebih luas. Daya saing Indonesia selama ini kalah dengan Vietnam karena Indonesia kurang agresif menyepakati kerja sama dengan negara mitra dagang.