Kesepakatan Negara Produsen Karet Perlu Diantisipasi
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·2 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kesepakatan negara produsen karet atau International Tripartite Rubber Council membatasi volume ekspor karet sebanyak 300.000 ton perlu diantisipasi. Harga di pasar internasional bisa jadi terdongkrak, tetapi belum tentu dampaknya juga mengangkat harga getah di tingkat petani lokal.
”Pembatasan volume ekspor akan menekan daya serap karet di tingkat petani. Hal itu dapat mengakibatkan kelebihan suplai. Dalam kondisi suplai yang tinggi, tanpa diikuti serapan pasar, bisa semakin menjatuhkan harga karet di tingkat petani,” kata Pantun Bukit, pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Kamis (24/1/2019).
Ia menilai terbatasnya serapan pasar akan dimanfaatkan tengkulak. Ketika petani membutuhkan uang cepat, tengkulak biasanya datang untuk membeli karet. Namun, harga yang ditawarkan jauh lebih rendah daripada harga pasar.
Pembatasan ekspor karet, lanjutnya, perlu diiringi pemanfaatan karet di dalam negeri. Misalnya, pemanfaatan untuk bahan pelapis aspal, akan efektif menyerap produksi karet petani dan mendongkrak nilai tambah komoditas itu.
Alokasinya, dana untuk pembangunan infrastruktur Provinsi Jambi menelan hampir Rp 1 triliun per tahun. Dari jumlah itu, dana untuk pembangunan jalan sekitar Rp 600 miliar. Jika pembangunan jalan aspal bisa memanfaatkan karet, ia memperkirakan Rp 200 miliar belanja pembangunan itu akan dinikmati langsung oleh petani.
Sebagaimana diketahui, Malaysia dan Indonesia yang tergabung dalam wadah negara produsen karet atau International Tripartite Rubber Council berencana membatasi volume ekspor karet sebanyak 300.000 ton. Tujuannya untuk mendongkrak harga karet di pasar internasional. Anggota lainnya, Thailand, masih mempertimbangkan rencana pembatasan itu sebagaimana diberitakan Kompas, Rabu (16/1/2019).
Menurut Usman Ermulan, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Provinsi Jambi, pembatasan suplai diharapkan menciptakan keseimbangan harga. Namun, pihaknya juga mendorong peran pemerintah daerah menghidupkan unit-unit pelayanan pengembangan (UPP) karet di tiap kelompok tani sebab dengan hanya menjual karet mentah yang harganya terus melemah tidak akan menyejahterakan petani.
Saat ini, kata Usman, harga kesepakatan yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Jambi Rp 16.500 per kilogram untuk kadar karet 100 persen. Namun, harga di tingkat petani hanya Rp 6.500 hingga Rp 7.000.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, luas penanaman karet di Provinsi Jambi mencapai 383.208 hektar dengan volume produksi 266.559 ton. Sebanyak 214.168 petani menggantungkan hidupnya pada budidaya karet.
Meskipun sebagian petani mampu mengolah karet menjadi olahan setengah jadi, seperti sheet angin untuk memperoleh nilai jual lebih tinggi, mereka kebanyakan langsung menjual dalam bentuk karet bongkahan yang nilai jualnya lebih rendah.
Ia melanjutkan, pengembangan UPP sebenarnya akan efektif mengangkat nilai tambah karet. Namun, belum optimalnya pendampingan membuat banyak UPP mati suri.