"Angin baru sedang berembus ke seluruh dunia. Apakah angin itu akan memberi sinyal cuaca baik atau pertanda badai?" ujar Pompeo melalui konferensi video di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO dan KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
DAVOS, RABU -- Amerika Serikat menegaskan komitmennya pada kepemimpinan dan kepentingan nasional di tengah lanskap geopolitik dunia yang berubah. Dengan komitmen itu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyatakan, Washington mengantarkan pada angin baru bagi dunia di mana negara-negara lebih penting dibanding badan internasional.
Istilah ”angin baru (new winds)" disampaikan Pompeo dalam siaran yang dipancarkan melalui satelit pada sesi khusus Forum Ekonomi Dunia (WEF) tahun 2019, Selasa (22/1/2019) waktu setempat di Davos-Klosters, Swiss. Pompeo batal menghadiri WEF secara langsung terkait sebagian operasi pemerintahan AS yang masih terhenti hingga saat ini.
"Angin baru sedang berembus ke seluruh dunia. Apakah angin itu akan memberi sinyal cuaca baik atau pertanda badai?" ujar Pompeo melalui konferensi video.
"Negara-lah yang penting," kata dia. "Tak ada badan internasional yang dapat membela rakyat, tidak juga para pemimpin mereka. Perbatasan yang kuat adalah kunci bagi negara yang kuat."
Penegasan sikap AS terhadap kebijakan proteksionisme itu disampaikan Pompeo sehari setelah Dana Moneter Internasional (IMF) mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Sebelumnya, Bank Dunia memperkirakan perekonomian global 2019 akan tumbuh melambat menjadi 2,9 persen dari 3 persen pada tahun lalu.
Menurut Pompeo, penduduk di seluruh dunia kini mulai mempertanyakan, apakah globalisasi ekonomi mencerminkan kepentingan mereka, dan apakah proteksi politik mampu melindungi mereka dari ancaman paling berbahaya, seperti terorisme. Negara harus hadir mengatasi berbagai persoalan dan kegamangan itu.
Di tengah risiko perlambatan ekonomi global, lanjut Pompeo, dibutuhkan aliansi yang kokoh, dengan prinsip utama bahwa keamanan ekonomi adalah keamanan nasional. Selama ini, sistem multilateral yang ada dinilai merugikan negara, terutama AS. AS mendesak agar institusi global, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), segera direformasi.
Angin baru sedang berembus ke seluruh dunia. Apakah angin itu akan memberi sinyal cuaca baik atau pertanda badai?
Harga minyak
Masih di forum yang sama, pemerintah Rusia menyatakan, pihaknya seharusnya tidak mengambil posisi berperang dalam urusan harga minyak dengan AS. Rusia menilai lebih bersifat strategis jika Mokswa tetap berpegang pada pengurangan produksi sekalipun sekiranya langkah itu akan mengakibatkan hilangnya sebagian pangsa pasar negara itu dalam jangka menengah.
"Kita seharusnya tidak mengambil tindakan kompetitif untuk menghancurkan produksi serpih (shale) AS," kata Kirill Dmitriyev, Kepala Dana Investasi Langsung Rusia. Agar produksi minyak serpih AS turun, kata dia, harga minyak harus berada pada level 40 dollar AS per barel. Kondisi itu dinilai tidak sehat bagi ekonomi Rusia.
Sejak 2017, Rusia dan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) telah memangkas produksi minyak untuk pertama kalinya guna meningkatkan harga minyak mentah. Minyak diperdagangkan antara 60-85 dollar AS per barel. Harga minyak pernah mencapai 30 dollar AS per barel sebelum kesepakatan berlaku.
Tiga tahun lalu di Davos, Dmitriyev menjadi pejabat Rusia pertama yang secara terbuka menyebutkan kemungkinan perjanjian pasokan dengan OPEC. Pada saat itu, harga minyak telah jatuh setelah pentolan OPEC, Arab Saudi, menaikkan produksi minyaknya untuk menekan posisi produsen AS yang berbiaya lebih tinggi.