MAKASSAR, KOMPAS — Regulasi tata wilayah yang amat longgar, terutama terkait alih fungsi lahan di daerah resapan air, menjadi sumber banjir di Sulawesi Selatan. Jika dibiarkan, dampak bencana yang lebih buruk bisa terjadi.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebencanaan Universitas Hasanuddin, Makassar, Adi Maulana mengatakan, sejak lima tahun lalu, pihaknya telah mendapati adanya potensi banjir besar di sejumlah titik di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Jeneponto.
Penyebab utama besarnya potensi banjir di wilayah-wilayah tersebut adalah alih fungsi daerah resapan air menjadi wilayah permukiman ataupun ladang tanaman perkebunan yang tidak memberi fungsi ekologis dalam memperkuat daya serap tanah.
”Belasan tahun lalu, banjir tidak terjadi karena tanah masih bisa menyerap air hujan dengan baik. Saat ini, daerah-daerah resapan air telah menjadi wilayah permukiman ataupun perkebunan,” ujar Adi saat dihubungi Kamis (24/1/2019).
Tidak terserapnya air dengan sempurna menimbulkan tingginya genangan air seiring tingginya intensitas hujan. Hal ini terjadi di Perumnas Antang, Blok 8, Blok 9, dan Blok 10, Kecamatan Manggala, Kota Makassar. Berdasarkan pengakuan warga setempat, tinggi genangan air berkisar 1 meter-2,5 meter.
Alih fungsi daerah resapan air, menurut Adi, juga terjadi di wilayah hulu sungai Jeneberang di kaki Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Gowa. Titik-titik yang menjadi wilayah resapan air kini banyak beralih juga menjadi permukiman ataupun ladang.
Proses penyerapan air yang tidak maksimal di wilayah ini menyebabkan terjadinya erosi sehingga alur sungai Jenebarang dipenuhi material-material sedimen tanah yang terkikis. Pendangkalan sungai akibat erosi menyebabkan volume Bendungan Bili-Bili, yang jaraknya 19 kilometer dari pusat Kota Makassar, semakin kecil.
Adi mengatakan, pada Selasa (22/1/2019) pagi, tinggi permukaan air di Bendungan Bili-Bili mencapai 101 meter. Padahal, batas maksimum permukaan Bendungan Bili-Bili sekitar 105 meter. ”Situasi ini memaksa pintu air bendungan dibuka agar air tidak meluap. Volume air banyak yang lari ke wilayah Gowa dan Makassar,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Adi, volume air sungai sempat lebih tinggi dibandingkan biasanya karena efek pasang air laut pada malam 21 Januari 2019 akibat fenomena bulan penuh. Pasangnya air laut membuat aliran air sungai yang bermuara ke laut tertahan.
”Kalau penyebab-penyebab banjir tidak dikontrol, bukan tidak mungkin bencana akan terjadi secara berulang, bahkan memberikan dampak kerusakan yang semakin parah,” kata Adi.
Ketegasan pemda
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Doni Monardo, saat berkunjung ke Sulawesi Selatan, Kamis, mengatakan, pemerintah daerah harus tegas membuat regulasi untuk menjaga daerah resapan air tidak beralih fungsi.
”Alih fungsi kawasan konservasi menjadi penyebab banjir. Masyarakat hulu sungai lebih tertarik menanam tanaman dengan manfaat ekonomis jangka pendek, tetapi tidak punya fungsi ekologis,” ujar Doni di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Kabupaten Maros.
Selain itu, berdasarkan laporan yang dia terima, Doni pun menyayangkan aktivitas penambangan pasir yang menyebabkan sedimentasi daerah aliran Sungai Jeneberang. Sedimentasi ini bisa mengancam kondisi Bendungan Bili-Bili sebagai penampung air baku.
”Pemerintah daerah ujung tombak perbaikan daerah-daerah konservasi. Ada dua fokus yang harus dijalankan, yakni regulasi yang ketat tetapi tidak lupa juga sosialisasi agar masyarakat turut menjaga lingkungannya,” kata Doni.