JAKARTA, KOMPAS — Orangtua sebaiknya waspada jika berat badan anak, terutama pada anak usia bawah dua tahun, mengalami penurunan. Kondisi ini bisa disebut gagal tumbuh yang dapat memicu terjadinya stunting atau kurang gizi kronik. Pemeriksaan ke dokter spesialis anak perlu dilakukan agar masalah gizi pada anak segera ditangani.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), gagal tumbuh atau failure to thrive adalah kondisi pada anak yang menunjukkan kenaikan berat badan yang tidak sesuai, berat badan yang tidak naik, ataupun berdasarkan grafik pertumbuhan anak mengalami penurunan berat badan dibandingkan pengukuran sebelumnya.
Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) Damayanti Rusli Sjarif menyebutkan, stunting perlu diatasi sejak awal dengan deteksi dini risiko gagal tumbuh. Orangtua diimbau segera mencari pertolongan jika berat badan anak tidak mengalami kenaikan yang normal.
”Posyandu harus jadi kader pertama yang mengecek kondisi anak. Kalau saat pengecekan berat badan ternyata berat anak naik kurang dari persentil lima langsung rujuk ke puskesmas dan langsung dicek ke dokter spesialis anak. Hal ini penting karena jika (penurunan berat badan) terus terjadi, bisa menjadi stunting,” tutur Damayanti di Jakarta, Rabu (23/1/2019).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Kementerian Kesehatan 2018, prevalensi stunting pada anak balita sebesar 30,8 persen. Jumlah ini menurun dari data Riskesdas 2013, yakni 37,2 persen. Meski begitu, prevalensi tersebut masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20 persen.
Damayanti menambahkan, penanganan stunting mesti dilakukan sejak 1.000 hari pertama kehidupan bayi atau sejak masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Air susu ibu (ASI) merupakan zat gizi terbaik yang dibutuhkan anak. Selanjutnya, asupan makanan bergizi juga dibutuhkan saat anak mengonsumsi makanan pendamping ASI (MPASI).
”Pastikan MPASI mengandung karbohidrat, lemak, dan protein, terutama protein hewani, bukan cuma diberi sayur dan buah,” katanya. Protein hewani ini dapat ditemukan pada daging ayam, telur ayam, daging sapi, ikan kembung, susu, dan tempe.
Menurut dia, prinsip pencegahan stunting pada bayi dan anak balita bisa dilakukan, antara lain memperbaiki nutrisi yang cukup, lengkap, dan seimbang; memastikan tidak ada penyakit penyerta yang meningkatkan kebutuhan nutrisi, seperti diare atau jantung bawaan; memastikan bayi bergerak aktif; serta selalu melakukan pengukuran berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala secara teratur.
Stunting dapat menghambat perkembangan fisik anak dan memicu kerusakan otak yang tak dapat diperbaiki. Sekitar 25 persen dari jumlah total bayi bergizi buruk akan memiliki kecerdasan intelektual 51-70 pada usia 40 tahun. Bahkan, beberapa anak yang sudah terlambat ditangani hanya mampu bersekolah sampai tinggal sekolah dasar karena fungsi kognitifnya terhambat. ”Akibat terburuk stunting adalah otak gagal tumbuh,” ujar Damayanti.
Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan (Pergizi Pangan) Indonesia Hardinsyah menuturkan, masalah stunting tidak cukup diselesaikan dalam jangka waktu pendek. Intervensi yang dilakukan harus dalam jangka waktu panjang, sejak anak usia remaja.
Edukasi terkait gizi dan makanan seimbang perlu disampaikan kepada siswa, remaja, dan calon pengantin. ”Harapannya, sebelum mereka menikah dan punya anak, pengetahuan tentang gizinya sudah baik. Jadi tahu apa yang harus dikonsumsi agar anak tumbuh sehat,” ucapnya.
Untuk itulah, ia menyarankan, edukasi terkait gizi seimbang dimasukkan dalam kurikulum di sekolah. Selain itu, petugas gizi, bidan, dokter puskesmas, serta perawat pun diberikan kurikulum khusus mengenai pencegahan stunting.
Hardinsyah berpendapat, masalah stunting bukan hanya berdampak pada orang yang mengalaminya, tetapi secara lebih luas juga menentukan kapasitas dan kualitas generasi yang akan datang. Jika tidak diatasi sejak dini, jumlah usia produktif pada 2035 yang seharusnya menjadi bonus demografi justru berubah menjadi bencana demografi.