JAKARTA, KOMPAS — Penerapan teknologi dinilai dapat menjadi solusi masalah garam di Indonesia. Peneliti di Kementerian Perindustrian memiliki teknologi pembuatan garam berkualitas standar industri yang dapat diproduksi di lahan sempit, bahkan mampu dipanen saat musim hujan.
”Tagline saya adalah musim hujan panen garam di lahan sempit,” kata Perekayasa Ahli Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Industri dan Kekayaan Intelektual, Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Kementerian Perindustrian, Sudarto di Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Sudarto mengatakan, kebutuhan garam nasional dapat dirinci menjadi tiga. Kebutuhan pertama untuk garam konsumsi beryodium. Kedua, garam beryodium terkait konsumsi untuk industri makanan.
Ada peluang di dalam negeri untuk mengisi kebutuhan garam yang sesuai standar industri.
Kebutuhan garam nasional ketiga adalah garam yang diperuntukkan sebagai bahan baku industri. Ada industri, misalnya industri chlor alkali plant (CAP), yang membutuhkan garam secara penuh sebagai bahan baku dalam proses produksi.
Ada pula industri yang membutuhkan garam sebagai bahan penolong proses, misalnya industri pertekstilan, industri pengeboran minyak, serta industri penyamakan dan pengawetan kulit.
Volume impor garam industri, menurut Sudarto, menunjukkan adanya peluang di dalam negeri untuk mengisi kebutuhan garam yang sesuai standar industri. ”Kami tak henti-hentinya meneliti agar teknologi menjadi solusi pergaraman nasional,” katanya.
Sudarto mengatakan, pihaknya memiliki tiga paten terkait garam. Paten dimaksud tentang proses pembuatan garam NaCl dengan media isolator pada meja kristalisasi. Berikutnya paten proses produksi garam beryodium di lahan pergaraman pada meja kristalisasi dengan media isolator. Selanjutnya paten proses pembuatan garam industri melalui teknologi dan manajemen tata lahan dengan media isolator.
Produk garam rakyat kualitas tiga dan dua harus didorong agar berkualitas satu agar mampu mengisi kebutuhan garam bahan baku konsumsi yang berstandar. ”Selain itu, mereka juga harus dibantu untuk menghasilkan garam industri. Ketiga paten saya bisa menjawab permasalahan itu,” kata Sudarto.
Sudarto mengatakan, alih teknologi dan manajemen lahan dapat dimanfaatkan untuk membuat garam yang mampu memenuhi standar kebutuhan industri. ”Bahkan, sampai ke garam bahan baku kebutuhan industri farmasi yang kadar NaCl-nya di atas 99 persen,” katanya.
Menurut Sudarto, desain lahan dan prosedur sesuai standar operasi yang pas akan memungkinkan petani pemilik lahan 1 hektar pun mampu memproduksi garam sesuai standar garam bahan baku aneka industri.
Sekretaris Umum Badan Pengurus Pusat Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia, Cucu Sutara, mengatakan, kualitas garam menjadi kepedulian industri yang menyerap garam rakyat. Kualitas garam berkaitan erat juga dengan harga dan daya saing.
Cucu mengatakan, garam berkualitas tiga akan mengalami penyusutan sehingga bisa mengurangi tingkat keekonomian. ”Penyusutannya itu bisa 40 persen. Jadi kami sangat mengharapkan kualitas garam terus ditingkatkan. Garam kualitas satu yang selama ini kami utamakan untuk diserap,” kata Cucu.