Remisi untuk Terpidana Pembunuh Wartawan Preseden Buruk Kebebasan Pers Indonesia
Remisi terhadap terpidana pembunuhan wartawan dari seumur hidup menjadi 20 tahun penjara dinilai sebagai langkah mundur upaya penegakan kemerdekaan pers.
JAKARTA, KOMPAS - Keputusan Presiden yang memberikan remisi berupa perubahan hukuman dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara selama 20 tahun kepada I Nyoman Susrama, auktor intelektualis pembunuhan jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Apalagi, masih banyak kasus pembunuhan jurnalis yang belum diungkap.
Pemberian remisi kepada I Nyoman Susrama tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara.
Pernyataan sikap pertama disampaikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar yang menilai keputusan tersebut sebagai langkah mundur terhadap upaya penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. “Pengungkapan kasus pembunuhan jurnalis di Bali pada 2010 menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. Sebelumnya, tidak ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang berhasil diungkap secara tuntas, apalagi dihukum berat,” kata Kepala Divisi Advokasi AJI Denpasar Miftachul Huda dalam siaran persnya, Selasa (22/1/2019).
Pengungkapan kasus pembunuhan jurnalis di Bali pada 2010 menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.
Pemberian remisi terhadap Susrama dari hukuman seumur hidup menjadi hukuman sementara selama 20 tahun penjara tersebut dinilai bisa melemahkan upaya penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. Dengan hanya diganjar hukuman 20 tahun, maka Susrama berkesempatan menerima remisi dan bukan tidak mungkin suatu saat bisa mendapatkan pembebasan bersyarat.
Dikonfirmasi soal keputusan tersebut, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami mengatakan, terpidana penjara seumur hidup berhak menerima remisi jika berkelakuan baik. ”Selama menjalani hukuman, Nyoman Susrama berkelakuan baik. Karena itu, dia mendapat remisi dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana sementara,” katanya.
Cabut keputusan
Miftachul Huda mengatakan, AJI Denpasar menuntut agar pemberian remisi kepada otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa tersebut dicabut atau dianulir.
Hal senada disampaikan Koordinator Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito yang menilai keputusan presiden memberikan remisi kepada I Nyoman Susrama sebagai preseden buruk bagi kekebasan pers di Indonesia. “Kami berharap presiden meninjau dan mencabut kembali demi terjaganya kebebasan pers Indonesia sekarang dan ke depan,” kata dia.
Kasus pembunuhan keji terhadap Prabangsa pada 11 Februari 2009 menyedot perhatian masyarakat Bali dan nasional. Setelah sempat hilang selama lima hari, redaktur berita-berita daerah Radar Bali tersebut ditemukan tak bernyawa dengan kondisi tubuh rusak pada 16 Februari 2009 di Teluk Bungsil, perairan Padang Bai, Karangasem.
Meski sempat kesulitan mencari benang merah kasus ini, namun polisi kemudian menelusuri sejumlah kemungkinan motif pembunuhan, salah satunya karena pemberitaan. Apalagi, beberapa rekan korban menyampaikan bahwa Prabangsa pernah beberapa kali mengaku diancam orang tak dikenal.
Dengan dukungan publik yang kuat mulai dari komunitas pers, masyarakat adat, politisi, hingga masyarakat luas, maka kasus ini sedikit demi sedikit terungkap. Pada Mei 2009, polisi menetapkan enam tersangka pembunuh Prabangsa, yaitu Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana, Dewa Sumbawa, Endy, serta Nyoman Susrama yang merupakan auktor intelektualis pembunuhan Prabangsa
Kasus pembunuhan bermula dari berita yang dibuat oleh Prabangsa pada 3, 8, dan 9 Desember 2008 tentang dugaan korupsi dalam proyek pembangunan taman kanak-kanak bertaraf internasional di Bangli. Pemberitaan itu mengusik Susrama. Ia bersama rekannya kemudian merencanakan pembunuhan terhadap Prabangsa.
Kasus pembunuhan bermula dari berita yang dibuat oleh Prabangsa pada 3, 8, dan 9 Desember 2008 tentang dugaan korupsi dalam proyek pembangunan taman kanak-kanak bertaraf internasional di Bangli.
Berdasarkan fakta persidangan, pelaksanaan pembunuhan dilakukan pada 11 Februari 2009 di rumah Susrama. Pada saat eksekusi, Susrama juga terbukti ikut memukul korban dengan balok kayu.
Setelah divonis, keenam terdakwa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun ditolak pada 24 September 2010. Menurut Ketua Muda Pidana Umum MA Artidjo Alkostar selaku Ketua Majelis Kasasi saat itu, judex factie (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) tidak salah menerapkan hukum karena mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan cermat.
Karena itulah, MA sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Negeri Denpasar yang menghukum I Nyoman Susrama dengan pidana seumur hidup. Susrama, yang juga rekanan Dinas Pendidikan Kabupaten Bangli yang mengerjakan proyek pembangunan taman kanak-kanak bertaraf internasional di Bangli, terbukti sah dan meyakinkan sebagai otak pembunuhan. Susrama dan kawan-kawan akhirnya terbukti sah dan meyakinkan melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (Kompas, 25 September 2010).
Dukungan publik
Jurnalis senior sekaligus mantan Ketua Umum AJI Indonesia, Eko Maryadi menyebut kasus ini sebagai kasus pembunuhan wartawan yang mendapat dukungan publik dan komunitas seperti ditulis dalam buku “Jejak Darah Setelah Berita” terbitan AJI Indonesia dan Southeast Asian Press Alliance, 2010 yang ditulis oleh Abdul Manan dan Sunudyantoro.
“Dalam kasus Prabangsa inilah untuk pertama kalinya, polisi, jaksa, hakim, bekerja berdasarkan azas hukum dan rasa keadilan publik yang kuat. Biasanya publik nyinyir atau sinis terhadap aparat penegak hukum. Namun untuk kasus Prabangsa, publik berterima kasih kepada aparat Polda Bali, aparat kejaksaan, dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar,” kata Eko.
Dalam kasus Prabangsa inilah untuk pertama kalinya, polisi, jaksa, hakim, bekerja berdasarkan azas hukum dan rasa keadilan publik yang kuat.
Pada 2009 AJI Denpasar bersama sejumlah advokat, dan aktivis turut mengawal Polda Bali dalam kasus ini. Mereka membutuhkan waktu berbulan-bulan dan energi ekstra sampai akhirnya kasus ini terungkap.
Sebagai bentuk keprihatinan terhadap keputusan presiden, AJI Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukm Pers Yogyakarta, dan Perhimpunan pers mahasiswa indonesia (PPMI) Nasional akan menggelar aksi unjuk rasa, Kamis (24/1/2019), di Yogyakarta. Mereka Meminta Presiden Joko Widodo keputusan tersebut, mendesak presiden segera menuntaskan 8 kasus pembunuhan jurnalis lainnya yang belum terungkap, serta meminta negara memberikan perlindungan terhadap jurnalis dan jaminan kebebasan pers.
Perjuangan kebebasan pers di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah serius. Organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, Reporter Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, tahun 2018 masih menempatkan Indonesia pada peringkat ke-124 dari 180 negara. Dengan peringkat ini, prestasi Indonesia dalam memperjuangkan kebebasan pers masih jauh di bawah Timor Leste (peringkat ke-95), Afghanistan (peringkat ke-118), atau Nigeria (peringkat ke-119).