SIDOARJO, KOMPAS - Pelaksanaan angkutan umum massal berbasis jalan atau bus (bus rapit transit/BRT) di Kabupaten Sidoarjo kurang efektif dan optimal. Penyebabnya banyak antara lain kurangnya komitmen dukungan dari pemerintah daerah setempat.
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menerima bantuan 15 unit BRT dari Kementerian Perhubungan 2015. Program bantuan ini digagas untuk mengurangi kemacetan dan emisi gas buang, mengingat Kabupaten Sidoarjo merupakan kota satelit yang perkembangannya pesat.
Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo Bahrul Amiq mengatakan dari 15 unit bus, sebanyak 12 unit beroperasi setiap hari, sedangkan tiga unit pada posisi sebagai bus cadangan. Namun selama tiga tahun operasional jumlah penumpang mengalami peningkatan yang minim.
“Okupansi atau tingkat keterisian penumpang rata-rata hanya 20-30 persen. Idealnya tingkat keterisian penumpang diatas 60 persen, baru operator bisa menutup biaya operasional yang dikeluarkan,” ujar Amiq yang ditemui Rabu (23/1/2019).
Kepala Bidang Angkutan Dinas Perhubungan Sidoarjo Edi Sutiyono mengatakan, banyak hal yang menyebabkan pelaksanaan angkutan umum massal berbasis jalan atau bus ini kurang optimal. Pertama, masih kurangnya sarana dan prasarana pendukung seperti halte pemberhentian.
Saat ini Pemkab Sidoarjo telah membangun 17 halte pada rute yang dilalui bus. Tahun lalu sudah direncanakan penambahan lima halte untuk memperluas aksesibilitas. Penambahan halte itu merupakan masukan dari masyarakat dan perusahaan operator BRT yakni Damri.
Namun perencanaan itu gagal terealisasi sehingga diusulkan kembali tahun ini. Salah satu penyebabnya penolakan dari angkutan kota (angkot) karena BRT dianggap mematikan usaha mereka. Para sopir angkot khawatir penumpang semakin banyak yang beralih.
Penyebab kedua kurang optimalnya pelaksanaan BRT adalah rute yang kurang strategis karena melalui jalur tol. Idealnya, BRT lewat tengah kota sehingga mampu menjangkau masyarakat secara lebih luas seperti pekerja, pelajar, dan mahasiswa. Namun karena masuk tol, penumpang yang dilayani menjadi terbatas.
Dari sisi waktu juga kurang efektif karena jarak tempuh menjadi lebih jauh apabila lewat tol. Akibatnya, penumpang yang seharusnya mendapat layanan transportasi yang cepat dan tepat waktu, sulit diwujudkan. Bagi operator, rute itu juga merugikan karena penumpang sepi.
“Kendala untuk merubah rute adalah konflik dengan para pengemudi angkot. Ketika BRT pertama kali dioperasikan di Sidoarjo, pemda mendapat protes keras dari ratusan pengemudi angkot,” ucap Edi.
Kendati operasional BRT di Sidoarjo kurang optimal namun hal itu tetap akan dilanjutkan. Damri, sebagai operator menutup kekurangan biaya operasional dengan mengurangi margin mereka dari pengoperasian rute lain seperti bus angkutan Bandara Udara Juanda yang okupansinya tinggi.
Idealnya memang ada subsidi biaya operasional dari pemda agar BRT sebagai angkutan perintis tetap bisa melayani masyarakat dan berkembang sesuai harapan. Namun para pemangku kebijakan di pemda belum memiliki pemikiran yang mengarah kesana.
Vidya (38), warga Sidoarjo mengatakan BRT sebenarnya merupakan angkutan yang nyaman dan aman. BRT juga memiliki jadwal yang bisa diandalkan untuk ketepatan waktu dibandingkan dengan angkot. Namun karena rutenya tidak masuk kota, masyarakat kurang bisa merasakan manfaatnya.
“Buat mereka yang memang kerjanya di pinggiran kota seperti daerah Kecamatan Candi dan Porong, bisa naik BRT. Pemerintah daerah harus berani bersikap tegas agar masyarakat memiliki keleluasaan dalam memilih transportasi umum yang nyaman dan aman,” kata Vidya.
Transportasi massal sudah waktunya diterapkan di Sidoarjo karena kondisi jalan yang tidak bertambah sementara jumlah kendaraan semakin banyak. Setiap hari kemacetan terjadi di jalan-jalan utama. Kondisi kemacetan itu bertambah parah setiap tahunnya.